Istilah Teori Kritis sudah lama diterapkan dalam rentang
yang sangat luas terhadap beberapa teori dan disiplin ilmu yang berbeda. Dalam
arti sempit, Teori Kritis merujuk kepada pandangan yang diusung oleh Mazhab
Frankfurt terutama tulisan-tulisan awal yang dibuat oleh Max Horkheimer,
Theodor W Adorno dan Herbert Marcuse. Teori Kritis sendiri didefinisikan
sebagai jenis teori sosial yang berasal dari para pemikir Marxis Barat di
Institut Riset Sosial, Universitas Frankfurt. Itulah sebabnya gagasan Teori
Kritis juga disebut sebagai gagasan Mazhab Frankfurt. Generasi pertama dari
Mazhab Frankfurt selain Horkheimer, Marcuse dan Adorno juga adalah Walter
Benjamin, Erich Fromm, Leo Lowental, Franz Neumann, Otto Kirchheimer dan
Frederick Pollock. Dengan demikian, sebagai program multidisiplin dari filsafat
hingga sejarah dan ilmu sosial pemikiran Teori Kritis mendapat banyak pengaruh
dari Immanuel Kant dan Neo-kantianisme, Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan
idealisme Jerman, Marx Weber serta Sigmund Freud. Hanya saja Teori Kritis lebih
dipahami sebagai pembaruan gagasan Marxisme yang terinspirasi dari
tulisan-tulisan Georg Lukács dan Karl Korsch. Marxisme yang diperbaharui ini
berangkat dari perubahan realitas sejarah dalam kapitalisme modern dan
integrasi wilayah keilmuan yang sudah sepenuhnya ditinggalkan oleh Marxisme
tradisional seperti filsafat dan teori politik, studi budaya dan psikologi
sosial. Menjelang Perang Dunia II berlangsung seraya dengan kebangkitan
Sosialisme Nasional di Jerman, tahun 1933 Institut pindah ke Jenewa dan
kemudian tahun 1934 pindah Amerika Serikat hingga akhirnya kembali ke Jerman
pada tahun 1950.
Teori kritis
adalah sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan
Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan sejawatnya di Institut
Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Secara umum
istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai
dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis
terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di
Frankfurt.
Sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis. Tokoh lain yang kemudian menjadi identik dengan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer dan Adorno, pada dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang kedua adalah penerus yang membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis dalam konteks pemikiran filsafat.
Sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt adalah teoritisi yang mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut penelitian ini diantaranya Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse dan Erich Fromm di akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio, televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal ini memunculkan budaya massa komersial, yang merupakan ciri masyarakat kapitalis dan, kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis. Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi budaya dibawah hubungan produksi kapitalis. Tokoh lain yang kemudian menjadi identik dengan teori kritis adalah Jurgen Habermas. Dia bergabung dengan Institut Penelitian Sosial di universitas Frankfurt, yang didirikan kembali oleh Horkheimer dan Adorno, pada dekade pasca perang dunia kedua. Tulisan ini berusaha memaparkan teori kritis dengan membaca pikiran Adorno dan Habermas. Yang pertama mewakili generasi ’pendiri’ teori kritis, sedang yang kedua adalah penerus yang membaca dan mengkontekstualisasi ulang teori kritis di zaman yang lazim di sebut posmodern. Sebagai pengantar akan lebih dahulu dipaparkan posisi teori kritis dalam konteks pemikiran filsafat.
Gagasan awal Teori Kritis dililhami oleh tulisan Karl Marx
yakni Theses on Feuerbach. Dalam tulisan tersebut Marx menyatakan bahwa
para “filsuf memberi banyak interpretasi yang berbeda terhadap dunia, namun
yang terpenting adalah bagaimana mengubah dunia”. Dalam hal ini Teori Kritis
menolak upaya positivisme logis untuk menemukan atau menerapkan hukum universal
ke dalam ilmu sosial. Positivisme logis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau
sains modern telah direduksi secara total menjadi sistem administrasi yang
semata-mata bersifat rasional dan teknologi murni.
Berbeda dengan Marx, untuk menghadapi hal tersebut Teori
Kritis lebih berfokus kepada suprastruktur dibandingkan basis ekonomi dari
masyarakat. Selain itu Teori Kritis juga menekankan pandangan terhadap
nilai-nilai moral, politik dan agama. Di sini dipahami bahwa Teori Kritis
memiliki klaim bahwa pengetahuan bersifat relatif terhadap kepentingan manusia
dan oleh sebab itu diperkenalkan suatu rentang yang luas dari kritisisme budaya
ke dalam teori sosial Marxis. Teori Kritis bermaksud menelanjangi pemahaman
yang keliru dan melekat tentang persepsi akal budi ideal pada kondisi sosial
politik masyarakat kapitalis. Dengan demikian Teori Kritis berupaya untuk
mengidentifikasi kemungkinan perubahan sosial, sekaligus mempromosikan bentuk
refleksi diri dan masyarakat yang bebas dari dominasi. Dengan demikian, Gagasan
dasar Teori Kritis adalah untuk menjembatani jurang antara riset substantif dan
filsafat. Teori Kritis ingin menggabungkan kedua cabang pengetahuan tersebut ke
dalam satu bentuk refleksi yang mengambil model filsafat sejarah Hegel. Untuk
bisa mencapai hal tersebut, maka sangat diperlukan teori sejarah yang mampu
menjelaskan kekuasaan efektif dari akal budi yang bersandar kepada prosesnya
sendiri. Asumsi dasar dari konsep filsafat sejarah semacam itu berasal dari
gagasan Max Horkheimer dan Herbert Marcuse yang memiliki akar tradisi pemikiran
Marxis.
Menjadi catatan bahwa yang membedakan Teori Kritis dengan
gagasan Marxis pada awalnya adalah bukan prinsip-prinsip teoritis, melainkan
obyektif atau tujuan secara metodologis yakni semacam pengakuan terhadap ilmu
empiris. Itulah sebabnya adalah satu tujuan Teori Kritis juga berupa
penggabungan kerja secara sistematis dari seluruh riset disiplin ilmu-ilmu
sosial ke dalam teori masyarakat yang bersifat materialistis. Hal ini dianggap
akan mampu memfasilitasi percampuran antara ilmu sosial yang bersifat akademis
dengan teori Marxis.
Tokoh-tokoh
teori kritis
1.
Max Horkheimer
MEMAHAMI TEORI KRITIS
Istilah teori
kritis pertama kali ditemukan Max Horkheimer pada tahun 30-an. Pada mulanya
teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal
modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari
ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan
institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, ia harus ditempatkan dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel, yang hal ini, menurut Marx, terjadi dengan membuat filsafat sebagai hal yang praktis; yakni merubah praktik-praktik yang dengannya masyarakat mewujudkan idealnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Teori kritis menolak skeptisisme diatas dengan tetap memertahankan
kaitan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis
menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan
klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara
tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan
terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara
bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan
untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
Di zaman modern, filsafat secara ketat dibedakan dari sains. Locke
menyebut filsafat sebagai ’pekerja kasar’. Bagi Kant, filsafat, khususnya
filsafat transenden, memiliki dua peran. Pertama, sebagai ”hakim” yang
dengannya sains dinilai. Kedua, sebagai wilayah untuk memunculkan pertanyaan
normatif. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan normatif, dalam perspektif
Kantian, sains tidak dibutuhkan, karena hal itu dijawab melalui analisis
transenden. Teori kritis yang berorientasi emansipasi berusaha
mengkontekstualisasi klaim-klaim filosofis tentang kebenaran dan universalitas
moral tanpa mereduksinya menjadi sekedar kondisi sosial yang menyejarah. Teori
kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh
pengetahuan masa lalu. Tentang hal ini Horkheimer menyatakan ”Bahwa semua
pemikiran, benar atau salah, tergantung pada keadaan yang berubah sama sekali
tidak berpengaruh pada validitas sains”.
Teori kritis memungkinkan kita membaca produksi budaya dan
komunikasi dalam perspektif yang luas dan beragam. Ia bertujuan untuk melakukan
eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang kita alami dan cara kita
mendefinisikan diri sendiri, budaya kita, dan dunia. Saat ini teori kritis
menjadi salah satu alat epistemologis yang dibutuhkan dalam studi
humaniora. Hal ini didorong oleh kesadaran bahwa makna bukanlah sesuatu yang
alamiah dan langsung. Bahasa bukanlah media transparan yang dapat menyampaikan
ide-ide tanpa distorsi, sebaliknya ia adalah seperangkat kesepakatan yang
berpengaruh dan menentukan jenis-jenis ide dan pengalaman manusia. Dengan
berusaha memahami proses dimana teks, objek, dan manusia diasosiasikan dengan
makna-makna tertentu, teori kritis memertanyakan legitimasi anggapan umum
tentang pengalaman, pengetahuan, dan kebenaran. Dalam interaksi sehari-hari
dengan orang lain dan alam, dalam kepala seseorang selalu menyimpan seperangkat
kepercayaan dan asumsi yang terbentuk dari pengalaman—dalam arti luas—dan
berpengaruh pada cara pandang seseorang, yang sering tidak tampak. Teori kritis
berusaha mengungkap dan memertanyakan asumsi dan praduga itu. Dalam usahanya,
teori kritis menggunakan ide-ide dari bidang lain untuk memahami pola-pola
dimana teks dan cara baca berinteraksi dengan dunia. Hal ini mendorong
munculnya model pembacaan baru. Karenanya, salah satu ciri khas teori kritis
adalah pembacaan kritis dari dari berbagai segi dan luas.
Teori kritis adalah perangkat nalar yang, jika diposisikan dengan
tepat dalam sejarah, mampu merubah dunia. Pemikiran ini dapat dilacak dalam
tesis Marx terkenal yang menyatakan ”Filosof selalu menafsirkan dunia,
tujuannya untuk merubahnya”. Ide ini berasal dari Hegel yang, dalam
Phenomenology of Spirit, mengembangkan konsep tentang objek bergerak yang,
melalui proses refleksi-diri, mengetahui dirinya pada tingkat kesadaran yang
lebih tinggi. Hegel menggabungkan filsafat tindakan dengan filsafat refleksi
sedemikian rupa sehingga aktivitas atau tindakan menjadi momen niscaya dalam
proses refleksi. Hal ini memunculkan diskursus dalam filsafat Jerman tentang
hubungan antara teori dan praktis, yakni bahwa aktivitas praktis manusia dapat
merubah teori. Teori kritis, dengan demikian, adalah pembacaan filosofis—dalam
arti tradisional—yang disertai kesadaran terhadap pengaruh yang mungkin ada
dalam bangunan ilmu, termasuk didalamnya pengaruh kepentingan.
2. ADORNO DAN
TEORI KRITIS
Pria bernama lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini
dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903. Dia adalah seorang filosof, komposer,
penulis essay, dan teoritisi sosial. Pada usia lima belas, Adorno mengikuti
pertemuan studi mingguan bersama Siegfried Kracauer, yang diakuinya jauh lebih
berpengaruh pada perkembangan intelektualnya daripada guru-gurunya di bangku
kuliah. Pada tahun 1921, Adorno belajar di universitas di Frankfkurt,
memelajari filsafat, sosiologi, musik, dan psikologi. Di bangku kuliah, dia
bertemu dan bersahabat dengan Max Horxheimer dan Walter Benjamin. Pada tahun 1924,
Adorno menyelesaikan doktoral di bidang filsafat. Pada tahun 1927, dia kembali
ke Frankfurt, setelah sempat tinggal di Wina untuk belajar musik, dan bergabung
dengan Horkheimer di Institut Penelitian Sosial yang didirikan pada tahun 1924,
yang kemudian dirujuk sebagai Mazhab Frankfurt. Lembaga ini bertujuan
menggabungkan filsafat dan ilmu sosial menjadi teori sosial kritis.
Sebagai pemikir Adorno keberatan terhadap filsafat sistematis dan
meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal
dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan
pemikiran metodologis memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang
hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno
adalah pemikir anti-Hegel dan, sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju
terhadap posisi filosofis Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini
bahwa pemikiran konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan,
karenanya, selalu membawa benih-benih dominasi di dalamnya. Dalam sistem
pemikiran Hegel, dominasi pada wilayah materi tercermin dengan dominasi pada
tataran konsep. Totaliarianisme sistem pemikiran paralel dengan totalitarian
fasisme dan totalitarianisme dalam industri kebudayaan. Karenanya, Adorno
menolak sistem Hegelian—dan pemikiran sistematis secara umum—juga kecenderungan
apapun terhadap sintesis final. Dia menekankan hak untuk tidak sama.
Dalam karyanya bersama Horkheimer berjudul Dialectic of
Enlightenment, Adorno berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana
Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari
ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi politik, sosial, dan budaya dimana manusia kehilangan
individualitas dan masyarakat kehilangan makna kemanusiaan. Analisis ini
diberikan dengan penjelasan tentang motif konseptual dari proses rasionalisasi
masyarakat—dalam konteks Weberian—dimana dominasi kapitalis merupakan bahaya
terbesar yang muncul darinya. Konsep sosiologi yang diformulasikan Adorno
dimulai dengan usaha untuk memahami kaitan antara musik dan masyarakat. Pada
terbitan pertama jurnal yang dipublikasikan Institut Penelitian Sosial
Frankfurt, Adorno menulis essay berjudul On the Social Situation of Music, yang
memaparkan beberapa temuan-temuan sosiologis. Essay ini penting karena analisis
musik adalah awal dari refleksi sosiologis Adorno, yang bertujuan untuk
menyingkap kandungan sosiologis dalam tekstur karya estetis. Hal ini berlanjut
dengan penemuan apa yang disebut mediasi sosial, yang berarti
kesalingterpengaruhan antara yang universal dan partikular; masyarakat dan
individu.
Objek sentral dalam teori kritis Adorno adalah hubungan saling
keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai
sebuah totalitas dan bentuk konkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat.
Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan
individu sebagai pusat. Sebuah teori menjadi ”kritis” dengan menegasikan
ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial
dibawah ekonomi kapitalis.
3. HABERMAS DAN
TEORI KRITIS
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di
Dusseldorf. Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah
direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen dan Zurich,
Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat dari universitas Bonn pada
tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die Geschichte Von der
Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang
kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar
filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan
Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt.
Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.
Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun 1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang
lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada instrumen teknis dari
subjek individu, dalam pengertian monad, yang kemudian memungkinkan terbentuknya
masyarakat emansipatif dan rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang
keterkaitan antara pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini,
Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga
kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan
emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini
adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap
alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri dari
struktur-struktur dominasi. Barat modern menyaksikan bahwa keinginan menguasai
alam berubah menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki
penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren dalam
kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa dasar rasional
untuk kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika hubungan sosial diatur
menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi politis tergantung pada kesepakatan
yang dicapai dalam komunikasi yang bebas dari dominasi.
Konsepsi Habermas tentang teori kritis mengalami kristalisasi pada
tahun 60-an dalam karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the Logic of the
Social Sciences dan Knowledge and Human Interests. Habermas mengkritik
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan mengatakan bahwa paradigma
positivistik sesuai untuk ilmu-ilmu alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol
alam. Ilmu budaya (cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih
sesuai didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu
sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknis—seperti dalam ilmu alam—dan
praktis—seperti dalam ilmu budaya—seharusnya berada dibawah kepentingan
emansipatoris. Dengan demikian, yang harus dilakukan ilmuwan sosial adalah,
pertama, memahami situasi subjektif yang terdistorsi secara ideologis dari
individu atau kelompok; kedua, memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan
situasi tersebut; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa
diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi tentang
kekuatan-kekuatan itu.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik. Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.
Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa dunia
objektif, alih-alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran. Jika sebuah
pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu karena pernyataan
itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau dengan tepat mewakili kondisi
sebenarnya. Habermas menghindari perbincangan tentang metafisika dan lebih
memilih berbicara tentang hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan keseharian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar