Biografi Auguste Comte
Auguste Comte dilahirkan di Montpellier,
Prancis tahun 1798, keluarganya beragama khatolik dan berdarah bangsawan. Dia
mendapatkan pendidikan di Ecole Polytechnique di Prancis, namun tidak sempat
menyelesaikan sekolahnya karena banyak ketidakpuasan didalam dirinya, dan
sekaligus ia adalah mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak.
Comte akhirnya memulia karir
profesinalnya dengan memberi les privat bidang
matematika. Namun selain matematika ia juga tertarik memperhatikan
masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat terutama minat ini tumbuh
dengan suburnya setelah ia berteman dengan Saint Simon
yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya.
Kehidupan ekonominya pas-pasan, hampir
dapat dipastikan hidupa dalam kemiskinan karena ia tidak pernah dibayar
sebagaimana mestinya dalam memberikan les privat, dimana pada waktu itu biaya
pendidikan di Prancis sangat mahal.
Pada tahun 1842 ia menyelesaikan karya
besarnya yang berjudul Course of Positive Philosophy
dalam 6 jilid, dan juga karya besar yang cukup terkenal adalah System
of Positive Politics yang merupakan persembahan Comte bagi pujaan hatinya
Clothilde de Vaux, yang begitu banyak mempengaruhi pemikiran Comte di karya
besar keduanya itu. Dan dari karyanya yang satu ini ia mengusulkan adanya agama
humanitas, yang sangat menekankan pentingnya sisi kemanusiaan dalam mencapai
suatu masyarakat positifis.
Comte hidup pada masa akhir revolusi
Prancis termasuk didalamnya serangkaian pergolakan yang tersu berkesinambungan
sehingga Comte sangat menekankan arti pentingnya Keteraturan Sosial.
Pada tahun 1857 ia mengakhiri hidupnya
dalam kesengsaraan dan kemiskinan namun demikian namanya tetap kita kenang
hingga sekarang karena kegemilangan pikiran serta gagasannya.
Konteks Sosial dan Lingkungan Intelektual
Untuk memahami pemikiran Auguste
Comte, kita harus mengkaitkan dia dengan faktor lingkungan kebudayaan dan
lingkungan intelektual Perancis. Comte hidup pada masa revolusi Perancis yang
telah menimbulkan perubahan yang sangat besar pada semua aspek kehidupan
masyarakat Perancis. Revolusi ini telah melahirkan dua sikap yang saling berlawanan yaitu sikap optimis akan masa depan
yang lebih baik dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebaliknya
sikap konservatif atau skeptis terhadap perubahan yang menimbulkan anarki dan
sikap individualis.
Lingkungan intelektual Perancis
diwarnai oleh dua kelompok intelektual yaitu para peminat filsafat sejarah yang
memberi bentuk pada gagasan tentang kemajuan dan para penulis yang lebih
berminat kepada masalah-masalah penataan masyarakat. Para peminat filsafat
sejarah menaruh perhatian besar pada pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah
sejarah memiliki tujuan, apakah dalam proses historis diungkapkan suatu rencana
yang dapat diketahui berkat wahyu atau akal pikiran manusia, apakah sejarah
memiliki makna atau hanyalah merupakan serangkaian kejadian yang kebetulan.
Beberapa tokoh dapat disebut dari Fontenelle, Abbe de St Pierre, Bossuet, Voltaire, Turgot, dan Condorcet. Para peminat
masalah-masalah penataan masyarakat menaruh perhatian pada masalah integrasi
dan ketidaksamaan. Tokoh-tokohnya antara lain Montesquieu, Rousseau, De Bonald.
Dua tokoh filusuf sejarah yang
mempengaruhi Comte adalah turgot dan Condorcet. Turgot merumuskan dua hukum
yang berkaitan dengan kemajuan. Yang pertama berisi dalil bahwa setiap langkah
berarti percepatan. Yang kedua adalah hukum tiga tahap perkembangan
intelektual, pertama, orang pertama menemukan sebab-sebab adanya gejala-gejala
dijelaskan dalam kegiatan mahluk-mahluk rohaniah, kedua, gejala-gejala dijelaskan
dengan bantuan abstraksi dan pada tahap ketiga orang menggunakan matematika dan
eksperimen. Menurut Condorcet, Studi sejarah mempunyai dua tujua, pertama,
adanya keyakinan bahwa sejarah dapat diramalkan asal saja hukum-hukumnya dapat
diketahui (yang diperlukan adalah Newton-nya Sejarah). Tujuan kedau adalah
untuk menggantikan harapan masa depan yang ditentukan oleh wahyu dengan harapan
masa depan yang bersifat sekuler. Menurut Condorcet ada tiga tahap perkembangan
manusia yaitu membongkar perbedaan antar negara, perkembangan persamaan negara,
dan ketiga kemajuan manusia sesungguhnya. Dan Condorcet juga mengemukakan bahwa
belajar sejarah itu dapat melalui, pengalaman masa lalu, pengamatan pada
kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan peradaban manusia, da menganalisa kemajuan
pemahaman manusia terhadap alamnya.
Dan penulis yang meminati masalah
penataan masyarakat, Comte dipengaruhi oleh de Bonald, dimana ia mempunyai
pandangan skeptis dalam memandang dampak yang ditimbulkan revolusi Perancis.
Baginya revolusi nii hanya menghasilkan keadaan masyarakat yang anarkis dan
individualis. De Bonald memakai pendekatan organis dalam melihat kesatuan
masyarakat yang dipimpin oleh sekelompok orang yang diterangi semangat Gereja.
Individu harus tunduk pada masyarakat.
Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme
yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian
dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk
menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat
pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari
revolusi Perancis.
Pendiri filsafat positivis yang
sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman
diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari
hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti
pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan
masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode
absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.
Comte menuangkan gagasan positivisnya
dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah
ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu
pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir
perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika,
dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (
diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala
(diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).
Bagi Comte untuk menciptakan
masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat
digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :
- Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
- Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
- Metode ini berusaha ke arah kepastian
- Metode ini berusaha ke arah kecermatan.
Metode positif juga mempunyai
sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode
historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi
metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan
hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Hukum Tiga Tahap Auguste Comte
Comte termasuk pemikir yang
digolongkan dalam Positivisme yang memegang teguh bahwa strategi pembaharuan
termasuk dalam masyarakat itu dipercaya dapat dilakukan berdasarkan hukum alam.
Masyarakat positivus percaya bahwa hukum-hukum alam yang mengendalikan manusia
dan gejala sosial da[at digunakan sebagai dasar untuk mengadakan
pembaharuan-pembaharuan sosial dan politik untuk menyelaraskan
institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu.
Comte juga melihat bahwa masyarakat sebagai
suatu keseluruhan organisk yang kenyataannya lebih dari sekedar jumlah
bagian-bagian yang saling tergantung. Dan untuk mengerti kenyataan ini harus
dilakukan suatu metode penelitian empiris, yang dapat meyakinkan kita bahwa
masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Untuk itu Comte mengajukan 3 metode
penelitian empiris yang biasa juga digunakan oleh bidang-bidang fisika dan
biologi, yaitu pengamatan, dimana dalam metode ini [eneliti mengadakan suatu
pengamatan fakta dan mencatatnya dan tentunya tidak semua fakta dicatat, hanya
yang dianggap penting saja. Metode kedua yaitu Eksperimen, metode ini bisa
dilakukans ecara terlibat atau pun tidak dan metode ini memang sulit untuk
dilakukan. Metode ketiga yaitu Perbandingan, tentunya metode ini
memperbandingkan satu keadaan dengan keadaan yang lainnya.
Dengan menggunakan metode-metode
diatas Comte berusaha merumuskan perkembangan masyarakat yang bersifat
evolusioner menjadi 3 kelompok yaitu, pertama, Tahap Teologis,
merupakan periode paling lama dalam sejarah manusia, dan dalam periode ini
dibagi lagi ke dalam 3 subperiode, yaitu Fetisisme, yaitu bentuk
pikiran yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi kepercayaan bahwa
semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Politheisme,
muncul adanya anggapan bahwa ada kekuatan-kekuatan yang mengatur kehidupannya
atau gejala alam. Monotheisme, yaitu kepercayaan dewa mulai digantikan
dengan yang tunggal, dan puncaknya ditunjukkan adanya Khatolisisme.
Kedua, Tahap Metafisik merupakan
tahap transisi antara tahap teologis ke tahap positif. Tahap ini ditandai oleh
satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dalam
akal budi. Ketiga, Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan
data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir, tetapi sekali lagi
pengetahuan itu sifatnya sementara dan tidak mutlak, disini menunjukkan bahwa
semangat positivisme yang selalu terbuka secara terus menerus terhadap data
baru yang terus mengalami pembaharuan dan menunjukkan dinamika yang tinggi.
Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk
memperoleh hukum-hukum yang bersifat uniformitas.
Comte mengatakan bahwa disetiap
tahapan tentunya akan selalu terjadi suatu konsensus yang mengarah pada
keteraturan sosial, dimana dalam konsensus itu terjadi suatu kesepakatan
pandangan dan kepercayaan bersama, dengan kata lain sutau masyarakat dikatakan
telah melampaui suatu tahap perkembangan diatas apabila seluruh anggotanya
telah melakukan hal yang sama sesuai dengan kesepakatan yang ada, ada suatu
kekuatan yang dominan yang menguasai masyarakat yang mengarahkan masyarakat
untuk melakukan konsensus demi tercapainya suatu keteraturan sosial.
Pada tahap teologis, keluarga
merupakan satuan sosial yang dominan, dalam tahap metafisik kekuatan
negara-bangsa (yang memunculkan rasa nasionalisme/ kebangsaan) menjadi suatu
organisasi yang dominan. Dalam tahap positif muncul keteraturan sosial ditandai
dengan munculnya masyarakat industri dimana yang dipentingkan disini adalah
sisi kemanusiaan. (Pada kesempatan lain Comte mengusulkan adanya Agama
Humanitas untuk menjamin terwujudnya suatu keteraturan sosial dalam masyarakat
positif ini).
Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa sifat dasar dari suatu organisasi sosial suatu masyarakat
sangat tergantung pada pola-pola berfikir yang dominan serta gaya intelektual
masyarakat itu. Dalam perspektif Comte, struktur sosial sangat mencerminkan
epistemologi yang dominan, dan Comte percaya bahwa begitu intelektual dan
pengetahuan kita tumbuh maka masyarakat secara otomatis akan ikut bertumbuh
pula.
Perkembangan masyarakat, perkembangan
ilmu pengetahuan dan perkembangan yang lainnya selalu mengikuti hukum alam yang
empiris sifatnya dan Comte merumuskan ke dalam 3 tahapan yaitu tahap Teologis,
Metafisik dan Positif. Dimana dalam tahap teologis dimana pengetahuan absolut
mengandaikan bahwa semua gejala dihasilkan dari tindakan langsung dari hal-hal
supranatural. Tahap metafisik mulai ada perubahan bukan kekuatan suoranatural
yang menentukan tetapi kekuatan abstrak, hal yang nyata melekat pada semua
benda. Dan fase positif, sudah meninggalkan apa-apa yang dipikirkan dalam dua
tahap sebelumnya dan lebih memusatkan perhatiannya pada hukum-hukum alam.
Jika ditilik dari penjelasan diatas
maka bentuk dari perkembnagan sejarah Auguste Comte sulit untuk dipastikan apak
mengikuti alur linier atau mengikuti alur spiral tetapi yang jelas Comte tidak
terlalu murni menggunakan kedau alur tersebut, yang pasti ia mengarah pada
progresifitas dimana masyarakat positif merupakan cita-cita akhirnya yang
sebelum nya harus melalui 2 tahapan dibawahnya, yaitu tahap Teologis dan
Metafisik
Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim
lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri
belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia
menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat
akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap
pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia
juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk
menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan
berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman
moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu
belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat
di sejumlah sekolah di Paris.
Hasratnya
terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan
dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim,
1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan
sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R.
Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di
Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama
kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah
prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan
meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam
disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan
pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang
pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan
diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi
kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis.
Tahun-tahun
berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia
menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis
dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku
metodologi utamanya, The Rules of Sociological
Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897)
oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar
tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia
mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne,
dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary
Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912.
Kini Durkheim
sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam
kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia
dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang
dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang
dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan
bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa
sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang
melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan
anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia
melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis
sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata :
Bila masyarakat
mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap
bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai
sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang
pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang
akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah
cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap
di jalan raya. Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap
sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang
harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam
masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga
segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur
(Lukes, 1972:345).
Perhatian
Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam
seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas
perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral
dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat
dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak
tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah
harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu
adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai
keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu
untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas,
1972:347).
Tetapi minat
Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran
yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya
sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya
menamakan Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan
ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan
gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas
ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek
ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat
masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut
Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral
ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu
diterapkan.
Durkheim
berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya
terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang
lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul
sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu,
Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi,
sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap
bidang psikologi.
Durkheim
meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis
tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh
tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The
Structure of Social Action (1973) karya Talcott
Parsons.
Biografi
Max Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Jerman, 21 April 1864, berasal
dari keluarga kelas menengah. Perbedaan penting antara
Max Weber
kedua orang
tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan
psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif
penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai
akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan dan idealisme yang
memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap
kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah
adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam
berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber
adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan
prihatin (asetic)
tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya
kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat; ia terganggu oleh
ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia terganggu oleh
ketidaksempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan
akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara
kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini
berdampak besar terhadap Weber.
Karena tak
mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang
itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber,
1975:62). Mula-mula ia memilih orientasi hidup ayahnya, tetapi kemudian
tertarik makin mendekati orientasi hidup ibunya. Apapun pilihannya, ketegangan
yang dihasilkan oleh kebutuhan memilih antara pola yang berlawanan itu berpengaruh
negatif terhadap kejiwaan Weber. Ketika berumur 18 tahun Weber minggat dari
rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan
intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan
pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup
ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa
ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum
bir dengan teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat
perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam
hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup
ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya.
Setelah kuliah
tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk
dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan
belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir 8 tahun untuk
menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D.,
dan menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses
itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah dan sosiologi yang menjadi sasaran
perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama 8 tahun di Berlin, kehidupannya masih
tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu
bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya
terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian
sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa,
kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut : “Dia terus mempraktikkan
disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam
kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai
hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon
daging sapi dan 4 buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber,
1975:105). Jadi, dengan mengikuti ibunya, Weber menjalani hidup prihatin,
rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Workaholic (gila kerja). Semangat
kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di
Universitas Heidelberg pada 1896. Pada 1897, ketika karir akademis Weber
berkembang, ayahnya meninggal setelah terjadi pertengkaran sengit antara
mereka. Tak lama kemudian Weber mulai menunjukkan gejala yang berpuncak pada
gangguan safaf. Sering tak bisa tidur atau bekerja, dan enam atau tujuh tahun
berikutnya dilaluinya dalam keadaan mendekati kehancuran total. Setelah masa
kosong yang lama, sebagian kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru
pada 1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian
berlangsung selama 6,5 tahun, Weber mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan
akademis tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Dalam karya ini Weber mengumumkan besarnya pengaruh agama ibunya
di tingkat akademis. Weber banyak menghabiskan waktu untuk belajar agama meski
secara pribadi ia tak religius.
Meski terus
diganggu oleh masalah psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa
karya yang sangat penting. Ia menerbitkan hasil studinya tentang agama dunia
dalam perspektif sejarah dunia (misalnya Cina, India, dan agama Yahudi kuno).
Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya yang sangat penting, Economy and Society. Meski buku ini
diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun
sesungguhnya karya ini belum selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam
periode ini, Weber pun melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan
German Sociological Society di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai
cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred, maupun filsuf dan
kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222). Weberpun aktif dalam
aktivitas politik dimasa itu. Ada ketegangan dalam
kehidupan Weber dan, yang lebih penting, dalam karyanya, antara pemikiran
birokratis seperti yang dicerminkan oleh ayahnya dan rasa keagamaan ibunya.
Ketegangan yang tak terselesaikan ini meresapi karya Weber maupun kehidupan
pribadinya.
Peter L Berger; Seorang Sosiolog
Humanis
BIOGRAFI
Peter Ludwig Berger lahir pada 17 Maret 1929 di Vienna, Austria dan dibesarkan di Wina. Ayahnya George William Berger dan Ibunya Jelka Loew Berger adalah Pebisnis. Berger menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengahnya di Wina dan kemudian beremigerasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949 ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952). Di sini, Berger banyak belajar pada pemikir besar seperti: Alfred Schutz, Carl Mayer dan juga A. Solomon. Di The New School for Social Research ini pula Berger bertemu dengan temannya yaitu Thomas Luckman, dimana nantinya mereka menulis bersama sebuah buku berjudul “The Social Construction of Reality” yang terbit pada tahun 1966. Tahun 1952, berger secara resmi menjadi warga Negara Amerika serikat. Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Ia menikah taggal 28 september 1959 dengan Brigitte Kellner dan memiliki 2 orang anak yakni Thomas Ulrich dan Michael George Berger.
Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Selain menjadi guru besar sosiologi di Graduate School of Rutgers University dan Douglas College tahun 1970, ia juga pernah menjadi editor majalah berkala social Research tahun 1965-1971. Sejak tahun 1971, Berger bertugas di Worldview sebagai associate editor (selama beberapa tahun). Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universias Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi, yang beberapa tahun kemudian berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia.
Peter Ludwig Berger lahir pada 17 Maret 1929 di Vienna, Austria dan dibesarkan di Wina. Ayahnya George William Berger dan Ibunya Jelka Loew Berger adalah Pebisnis. Berger menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengahnya di Wina dan kemudian beremigerasi ke Amerika Serikat tak lama setelah Perang Dunia II. Pada 1949 ia lulus dari Wagner College dengan gelar Bachelor of Arts. Ia melanjutkan studinya di New School for Social Research di New York (M.A. pada 1950, Ph.D. pada 1952). Di sini, Berger banyak belajar pada pemikir besar seperti: Alfred Schutz, Carl Mayer dan juga A. Solomon. Di The New School for Social Research ini pula Berger bertemu dengan temannya yaitu Thomas Luckman, dimana nantinya mereka menulis bersama sebuah buku berjudul “The Social Construction of Reality” yang terbit pada tahun 1966. Tahun 1952, berger secara resmi menjadi warga Negara Amerika serikat. Pada 1955 dan 1956 ia bekerja di Evangelische Akademie di Bad Boll, Jerman. Dari 1956 hingga 1958 Berger menjadi profesor muda di Universitas North Carolina; dari 1958 hingga 1963 ia menjadi profesor madya di Seminari Teologi Hartford. Ia menikah taggal 28 september 1959 dengan Brigitte Kellner dan memiliki 2 orang anak yakni Thomas Ulrich dan Michael George Berger.
Tonggak-tonggak kariernya yang berikutnya adalah jabatan sebagai profesor di New School for Social Research, Universitas Rutgers, dan Boston College. Selain menjadi guru besar sosiologi di Graduate School of Rutgers University dan Douglas College tahun 1970, ia juga pernah menjadi editor majalah berkala social Research tahun 1965-1971. Sejak tahun 1971, Berger bertugas di Worldview sebagai associate editor (selama beberapa tahun). Sejak 1981 Berger menjadi Profesor Sosiologi dan Teologi di Universias Boston, dan sejak 1985 juga menjadi direktur dari Institut Studi Kebudayaan Ekonomi, yang beberapa tahun kemudian berubah menjadi Institut Kebudayaan, Agama, dan Masalah Dunia.
KARYA-KARYANYA
Tulisan-tulisan Berger antara lain adalah:
Tulisan-tulisan Berger antara lain adalah:
• Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective
(1963) (Humanisme Sosiologi)
• The Social Construction of Reality: A Treatise in
the Sociology of Knowledge (1966, dengan Thomas Luckmann) (Tafsir Sosial atas
Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan)
• The Sacred Canopy: Elements of a Sociological
Theory of Religion (1967) (Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial)
• A Rumor of Angels: Modern Society and the
Rediscovery of the Supernatural, 1970 (Kabar Angin Dari Langit: Makna Teologi
dalam Masyarakat Modern)
• Movement and Revolution ( R.J. Neuhaus 1970)
• Sociology A Biographical Approach (1972)
• Homeless Mind : Modernization and Consciousness,
1974
• Pyramids of Sacrifice (1974)
• Many Globalizations: Cultural Diversity in the
Contemporary World, 1974. with Samuel P. Huntingto
• The Role of Mediating Structures in Public Policy (1977)
• The Heretical Imperative To Empower People (1979)
• Sociology Reintepreted” (1981)
• Other Side of God, 1981,
• The Capitalist Revolution (1986)
• Capitalism and Equality in the Third
World (1987)
• The Capitalist Spirit: Toward a Religious Ethic of
Wealth Creation (editor, 1990).
• A Far Glory: The Quest for Faith in an Age of
Credibility, 1992.
• Redeeming Laughter: The Comic Dimension of Human
Experience, 1997
• The Desecularization of the World: Resurgent
Religion and World Politics. et al. 1999
• Resurgent Religion and World Politics” (1999),
• Peter Berger and the Study of Religion, 2001
• Redeeming laughter (2002)
• Questions of Faith: A Skeptical Affirmation of
Christianity (Religion and the Modern World), 2003
• Heretical Imperative: Contemporary Possibilities
of Religious Affirmation
Dari hasil-hasil karyanya ini, Berger mendapatkan
penghargaan Doktor Honoris Causa dari Universitas Loyola, Wagner College,
Universitas Notre Dame, Universitas Jenewa, dan Universitas Munchen. Ia juga
menjadi anggota kehormatan dari berbagai perhimpunan ilmiah.
Sosiolog yang menginsipasi peter berger antara lain
adalah Emile Durkheim dan Alfred Schutz
IDE DAN PEMIKIRAN
IDE DAN PEMIKIRAN
Realitas Dan Pengetahuan
Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan,
mensyaratkan penekunan pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah
yang menjadi istilah kunci teori konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas
Luckmann (1990). “Kenyataan” adalah suatu kualitas yang terdapat dalam
fenomen-fenomen yang memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada
kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan
angan-angan). “Pengetahuan” adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata
(real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial
adalah hasil (eksternalisasi) dari internalisasi dan obyektivasi manusia
terhadap pengetahuan –dalam kehidupan sehari-sehari. Atau, secara sederhana,
eksternalisasi dipengaruhi oleh stock of knowledge (cadangan pengetahuan) yang
dimilikinya. Cadangan sosial pengetahuan adalah akumulasi dari common sense
knowledge (pengetahuan akal-sehat).
Individu/Manusia dan Masyarakat (Konstruksi Sosial
Realitas) Pikiran peter berger tentang masyarakat dan individu dirumuskannya
bersama dengan Thomas Luckmann, dalam sebuah teori yang disebut Konstruksi
sosial. Teori ini menyatakan bahwa realitas memiliki dimensi subjektif dan
objektif. Manusia merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang
objektif’ melalui proses eksternalisasi, sebagaimana ia memengaruhinya melalui
proses internalisasi yang mencerminkan ‘realitas yang subjektif’. Dengan
demikian, masyarakat sebagai produk manusia, dan manusia sebagai produk
masyarakat, yang keduanya berlangsung secara dialektis: tesis, antitesis, dan
sintesis. Kedialektisan itu sekaligus menandakan bahwa masyarakat tidak pernah
sebagai produk akhir, tetapi tetap sebagai proses yang sedang terbentuk.
Manusia sebagai individu sosial pun tidak pernah stagnan selama ia hidup di
tengah masyarakatnya. Tesis utama Berger dan Luckmann adalah manusia dan
masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural secara
terus-menerus. Ia bukan realitas tunggal yang statis dan final, melainkan
merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Masyarakat adalah
produk manusia, namun secara terus-menerus mempunyai aksi kembali terhadap
penghasilnya. Sebaliknya, manusia juga produk masyarakat. Seseorang atau
individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau ia tetap tinggal dan menjadi
entitas dari masyarakatnya. Proses dialektis itu, menurut Berger dan Luckmann
mempunyai tiga momen, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi.
Menurut Berger, proses eksternalisasi dari apa yang dimiliki ini berjalan secara alamiah berdasarkan aturan-aturan untuk menghindari terjadinya dominasi oleh satu individu terhadap individu lainya. Oleh karena itu, maka aturan tersebut dapat dilakukan dengan cara menetapkan atau merumuskan sebuah konsensus atau objektivikasi. Setelah terjadi objektivikasi, maka hasil dari objektivikasi tersebut di internalisasikan. Selanjutnya, setelah ada pemahaman yang baru dari individu tersebut, pemahaman tersebut kemudian dieksternalisasikan kembali.
Menurut Berger, proses eksternalisasi dari apa yang dimiliki ini berjalan secara alamiah berdasarkan aturan-aturan untuk menghindari terjadinya dominasi oleh satu individu terhadap individu lainya. Oleh karena itu, maka aturan tersebut dapat dilakukan dengan cara menetapkan atau merumuskan sebuah konsensus atau objektivikasi. Setelah terjadi objektivikasi, maka hasil dari objektivikasi tersebut di internalisasikan. Selanjutnya, setelah ada pemahaman yang baru dari individu tersebut, pemahaman tersebut kemudian dieksternalisasikan kembali.
Berger berupaya untuk menyakinkan bahwa individu
terikat (masuk) dalam masyarakat sebab ada mekanisme lembaga sosial (sistem
norma), stratifikasi sosial, dan system pengendalian sosial. Baik individu
maupun masyarakat sama-sama berperan dan ada dalam individu. Ada hubungan
dialektis yang terjadi. Berger memahami masyarakat dalam 2 bagian besar yakni :
1. Masyarakat sebagai Realitas Objektif. Masyarakat disini, dilihat berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial, yang mengatur kehidupan masyarakat secara bersama.
1. Masyarakat sebagai Realitas Objektif. Masyarakat disini, dilihat berhubungan dengan lembaga-lembaga sosial, yang mengatur kehidupan masyarakat secara bersama.
2. Masyarakat sebagai realitas Subjektif. Masyarakat
disini, dilihat dari bagaimana individu melakukan penafsiran terhadap realitas
objektif yang berlaku umum dalam masyarakat.
Eksternalisasi, Internalisasi dan Objektivikasi
Menurut Berger, Eksternalisasi ialah eksistensi manusia yang tinggal di dalam
dirinya sendiri, dalam suatu lingkungan tertutup dan kemudian bergerak keluar
untuk mengekspresikan diri dalam dunia sekelilingnya. Eskternalisasi dilakukan
karena manusia secara biologis tidak memiliki dunia-manusia, maka ia membangun
suatu dunia manusia. Dunia itu adalah kebudayaan. Tujuan utamanya untuk
memberikan kepada kehidupan manusia struktur-struktur kokoh yang sebelumnya
tidak dimiliki secara biologis, untuk menemukan jati-dirinya sebagai manusia.
Awal dari proses kebudayaan, manusia menciptakan bahasa dan, berdasar dan
dengan sarana bahasa itu, dia membangun suatu bangunan simbol-simbol maha besar
yang meresapi semua aspek kehidupannya. Ini disebut sebagai kebudyaan
“nonmaterial” (produk-produk kultur secara historis). Hasil eksternlisasi yaitu
dunia yang diproduksi oleh manusia kemudian menjadi sesuatu yang berbeda “di
luar sana” atau, proses ini disebut “Eksternalisasi yang Terobyektivasi”. Dunia
yang diproduksi memperoleh sifat realitas obyektif. Eksternalisasi ini disebut
tingkat faktisitas yang mengesahkan-diri (self-legitimating). Eksternalisasi
merupakan proses dimana manusia yang tersosialisasi secara bersama-sama
membentuk makna baik secara kognitif maupun negative. Perkembangan manusia
belum selesai pada waktu dilahirkan. Ia perlu berproses dengan cara berinteraksi
dengan lingkungan dan mereaksinya terus-menerus baik fisik maupun nonfisik,
sampai ia remaja, dewasa, tua, dan mati. Artinya, selama hidup manusia selalu
menemukan dirinya dengan jalan mencurahkan dirinya dalam dunia. Sifat belum
selesai itu dilakukan terus-menerus dalam rangka menemukan dan membentuk
eksistensi diri
Menurut Berger, “Obyektivasi manusia berarti, bahwa
manusia menjadi mampu mengobyektivasikan bagian dari dirinya di dalam
kesadarannya sendiri, menghadapi dirinya di dalam dirinya sendiri dalam
gambaran-gambaran yang biasanya tersedia sebagai unsur-unsur obyektif dunia
sosial. Dunia obyektivikasi-obyektivikasi sosial itu, dihasilkan melalui
pengeksternalisasian kesadaran, menghadapi kesadaran sebagai faktasitas sosial,
atau obyektivasi yang di eksternalisasi menjadi realitas sosial. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa obyektivasi ialah dari yang tidak kenampakan
“tidak nyata” diwujudnyatakan kembali dalam eksternalisasi. Kongkritnya
objektivikasi adalah proses dimana manusia menciptakan berbagai realitas dalam
kehidupannya seperti menciptakan lembaga-lembaga sosial, merumuskan tentang
nilai-nilai, tentang istilah-istilah, bahasa maupun makna-makana yang
mengaturnya. Setelah tercipta ia menjadi produk dari manusia yang mendapat
penagkuan dan dimiliki secara bersama dalam masyarakat. Pada saat inilah,
berbagai realitas itu berubah menjadi produk yang akhirnya mengikat dan
mengontrol kehidupan manusia bahkan mengancam kehidupan manusia.
Misalnya, dari kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahan hidupnya: cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk itu menjadi realitas yang objektif (objektivikasi). Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Bahkan, dengan logikanya sendiri, ia bisa memaksa penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagaimana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri. Begitu juga bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya sendiri. Bahkan, mereka bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif.
Misalnya, dari kegiatan eksternalisasi manusia menghasilkan alat demi kemudahan hidupnya: cangkul untuk meningkatkan pengolahan pertanian atau bahasa untuk melancarkan komunikasi. Kedua produk itu diciptakan untuk menghadapi dunia. Setelah dihasilkan, kedua produk itu menjadi realitas yang objektif (objektivikasi). Ia menjadi dirinya sendiri, terpisah dengan individu penghasilnya. Bahkan, dengan logikanya sendiri, ia bisa memaksa penghasilnya. Realitas objektif cangkul bisa menentukan bagaimana petani harus mengatur cara kerjanya. Ia secara tidak sadar telah didikte oleh cangkul yang diciptakannya sendiri. Begitu juga bahasa. Cara berpikir manusia akhirnya ditentukan oleh bahasa yang diciptakannya sendiri. Bahkan, mereka bisa bersengketa dan perang karena bahasa. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif individual. Realitas objektif menjadi kenyataan empiris, bisa dialami oleh setiap orang dan kolektif.
Menurut Berger, Internalisasi sebaliknya adalah
penyerapan kedalam kesadaran dunia yang terobyektivasi sedemikian rupa sehingga
struktur dunia ini menentukan struktur subyektif, kesadaran itu sendiri. Dengan
internalisasi masyarakat kini berfungsi sebagai pelaku formatif bagi kesadaran
individu. Sejauh internalisasi itu telah terjadi, individu kini memahami
berbagai unsur dunia yang terobyektivasi sebagai fenomena internal terhadap
kesadarannya bersamaan dengan saat dia memahami unsur-unsur itu sebagai
fenomena-fenomena realitas eksternal. Proses-proses yang menginternalisasikan
dunia yang terobyektivasi secara sosial adalah proses yang juga menginternalisasikan
identitas-identitas yang ditetapkan secara sosial. Maka internalisasi
mengisyaratkan bahwa faktisitas obyektif dunia sosial itu juga menjadi
faktisitas subyektif. Individu mendapati lembaga-lembaga sebagai data dunia
subyektif di luar dirinya, tetapi sekarang menjadi data kesadarannya sendiri.
Internalisasi adalah penyerapan kembali dunia
objektif ke dalam kesadaran subjektif sedemikian rupa sehingga individu
dipengaruhi oleh struktur sosial atau dunia sosial. Berbagai macam unsur dari
dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas
di luar kesadarannya, dan sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran.
Melalui internalisasi itu, manusia menjadi produk masyarakat. Salah satu wujud
internalisasi adalah sosialisasi. Berger menyatakan Sosialisasi adalah kekuatan
masyarakat dalam mendidik manusia agar menjadi mahkluk yang sesuai dengan
lingkungan disekitarnya.
Agama
Agama bagi berger dipandang sebagai realitas sosial. Agama menjadi sumber pembenaran dunia sosial yang efektif. Agama menjadi bentang yang paling tangguh untuk melawan berbagai bentuk eksistensi manusia. Agama adalah bagian dari peradaban bahkan ekspresi peradaban itu sendiri. Agama adalah bentuk peradaban manusia. Jika modernitas dan globalisasi mendapat respon dari agama, maka hal itu merupakan bentuk dialog antar-peradaban. Di dalam sebuah dialog, perbenturan memang acapkali tak dapat dihindarkan, namun juga ada ruang di mana upaya untuk saling mengisi terjadi. Dalam buku The Sacred Canopy (1990) dan A Rumor of Angels (1970), Peter L. Berger berusaha menjelaskan bagaimana agama diposisikan dalam kehidupan modern. Kedua buku awal Berger itu cenderung menempatkan agama sebagai respon terhadap sekularisasi. Menurut Berger, sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de-birokratisasi. Pandangan Berger ini sesungguhnya mewakili pandangan dominan banyak ilmuan saat itu.
Agama
Agama bagi berger dipandang sebagai realitas sosial. Agama menjadi sumber pembenaran dunia sosial yang efektif. Agama menjadi bentang yang paling tangguh untuk melawan berbagai bentuk eksistensi manusia. Agama adalah bagian dari peradaban bahkan ekspresi peradaban itu sendiri. Agama adalah bentuk peradaban manusia. Jika modernitas dan globalisasi mendapat respon dari agama, maka hal itu merupakan bentuk dialog antar-peradaban. Di dalam sebuah dialog, perbenturan memang acapkali tak dapat dihindarkan, namun juga ada ruang di mana upaya untuk saling mengisi terjadi. Dalam buku The Sacred Canopy (1990) dan A Rumor of Angels (1970), Peter L. Berger berusaha menjelaskan bagaimana agama diposisikan dalam kehidupan modern. Kedua buku awal Berger itu cenderung menempatkan agama sebagai respon terhadap sekularisasi. Menurut Berger, sekularisasi mengantarkan pada demonopolisasi tradisi-tradisi keagamaan dan meningkatkan peran orang-orang awam. Berbagai pandangan keagamaan berbaur dan bersaing dengan pandangan dunia non-agama, sehingga organisasi-organisasi keagamaan harus mengalami rasionalisasi dan de-birokratisasi. Pandangan Berger ini sesungguhnya mewakili pandangan dominan banyak ilmuan saat itu.
Ideologi Pembangunan.
Dalam buku Pyramid of Sacifce, tampak Berger
menyatakan bahwa ternyata piramida yang merupakan lambang kemegahan dan
prestise masyarakat, dibangun dengan menyisakan penderitaan-penderitaan manusia
(sacrtfice). Kemegahan dan pembangunan ternyata mengeluarkan biaya-biaya
manusiawi (human costs) yang tidak sedikit. Piramida bukanlah sekedar bangunan
fisik yang untuk membangunnya dikerjakan secara bersama-sama. Pembangunan
piramida memahami hubungan antara teori, keringat dan darah. Sebenarnya Berger
yang netral ketika membahas sosialisme dan kapitalisme. Berger mengatakan bahwa
kedua ideologi tersebut senantiasa menampakkan dua wajah yang saling bertolak
belakang. Di satu sisi, jalan menuju kemakmuran dan di sisi lain merupakan
pilihan yang menyedihkan. Sebagai jalan menuju modernisasi keduanya telah
meminta korban-korban manusia untuk menyangga “pembangunan”. Hal menarik dari
pemikiran Berger adalah bahwa sebuah kebijakan pembangunan haruslah
memperhatikan dua gagasan penting di dalamnya, yaitu calculus of meanings
(perhitungan makna) dan calculus of pains (perhitungan penderitaan). Berger
mengatakan, “Biaya-biaya manusiawi yang paling menekan adalah yang berkenaan
dengan kekurangan dan penderitaan fisik. Tuntunan moral yang paling mendesak
dalam pengambilan kebijaksanaan politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.”
Berger berpendapat bahwa revolusi sosialis membebankan biaya-biaya manusiawi:
menyembunyikan kepentingan orang yang berkuasa dalam sistem sosialis, ideologi
pembangunan sosialis lebih menampilkan kebengisan tiada taranya ketimbang
usaha-usaha pembebasan seperti yang didengungkan. Itulah tuduhan Berger yang
cukup beralasan dan kritiknya yang menggugat akan eksistensi pembangunan.
Berger tidak antipati dengan pembangunan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mengejawantakan pembangunan (kapitalis dan sosialis) manusia kebanyakkan yang menjadi korban. Selain itu, hasil yang dicapai dari pembangunan adalah kemiskinan, penggusuran tanah warga tanpa ganti rugi yang layak, ketidakadilan yang mencekik rakyat banyak dan ketidakmerataan pendapatan bagi kebanyakkan warganya. Dalam kerangka itulah yang menjadi titik berangkat Berger mengkritisi ideologi pembangunan. Pemikiran Berger ini merangsang pemikiran dan membuka cakrawala para perancang pembangunan, agar sungguh memperhitungkan nilai-nilai universal kemanusiaan dalam setiap pembangunan.
Globalisasi Dan Perubahan Sosial.
Berger tidak antipati dengan pembangunan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam mengejawantakan pembangunan (kapitalis dan sosialis) manusia kebanyakkan yang menjadi korban. Selain itu, hasil yang dicapai dari pembangunan adalah kemiskinan, penggusuran tanah warga tanpa ganti rugi yang layak, ketidakadilan yang mencekik rakyat banyak dan ketidakmerataan pendapatan bagi kebanyakkan warganya. Dalam kerangka itulah yang menjadi titik berangkat Berger mengkritisi ideologi pembangunan. Pemikiran Berger ini merangsang pemikiran dan membuka cakrawala para perancang pembangunan, agar sungguh memperhitungkan nilai-nilai universal kemanusiaan dalam setiap pembangunan.
Globalisasi Dan Perubahan Sosial.
Berger menyatakan bahwa Globalisasi itu sebenarnya
tidak berjalan satu arah, atau berjalan secara monolitik. Artinya, bergerak
dari pusat ke pinggiran. Gerakan itu seperti gerakan terpusat yang digerakkan
oleh kapitalisme mutakhir. Berger membicarakan tentang empat macam kebudayaan
global, yaitu yang disebut business culture , faculty club culture , popular
culture, dan social movement. Berger melihat bahwa gerak ini bukan melulu satu
arah. Dia menyebut proses localization. Bagi berger orang harus membuka diri
terhadap berbagai perubahan. Dalam buku Many Globalization, Berger terkesan
melakukan pembelaan yang gigih terhadap globalisasi yang lebih banyak
disuarakan oleh negara yang menganut paham liberalisme ekonomi (kapitalisme).
Globalisasi kapitalisme tidak serta merta membawa kemakmuran dengan cepat.
Selalu ada pergulatan yang timbul, dan tidak menutup kemungkinan juga ada harga
mahal yang harus dibayar. Kesenjangan sosial dan tidak meratanya pendapatan
adalah efek langsung dari globalisasi. Globalisasi bukanlah sebuah fenomena
yang didominasi Barat. Upaya penelitian kolektif di ini menunjukkan tidak hanya
aspek budaya populer Barat yang telah mendapatkan momentum adat ketika dibawa
ke wilayah lokal, tetapi juga budaya adat telah diambil sebagai kekuatan
global. Beberapa contoh termasuk gerakan Neo-Buddha di Taiwan, Parade Cinta di
Jerman, Afrika Adat Gereja, bingkai Konfusianisme pemikiran kalangan kelas
pedagang di Cina, dan gerakan evangelis di Chile yang telah menjadi tren global
memberikan contoh tidak lokalisasi saja tetapi juga bentuk hibridisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar