Teori
adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan
atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan
proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis
atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan yang khas di antara
variabel-variabel dengan maksud memberikan eksplorasi dan prediksi. Di samping
itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pernyataan yang
mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai
sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda.
Teori
harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu definisi
teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoretis dan logis
antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori di
dalamnya harus terdapat konsep, definisi dan proposisi, hubungan logis di
antara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat
digunakan untuk eksplorasi dan prediksi.
Suatu
teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal, yang
menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi persyaratan.
Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa ide-ide itu dapat
dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma, kerangka pikir,
konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara konsep dan proposisi.
Konflik
secara etimologis adalah pertengkaran, perkelahian, perselisihan tentang
pendapat atau keinginan; atau perbedaan; pertentangan berlawanan dengan; atau
berselisih dengan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik mempunyai
arti percekcokan; perselisiah; dan pertentangan. Sedangkan menurut kamus
sosiologi konflik bermakna the overt struggle between inthviduals or groups
within a society, or between nation states, yakni pertentangan secara
terbuka antara individu-individu atau kelompok-kelompok di dalam masyarakat
atau antara bangsa-bangsa.
Dengan
demikian yang dimaksud dengan teori konflik adalah any theory or collection
of theories that emphasizes the role of conflict, especially between groups and
classes, in human societies (beberapa teori atau sekumpulan teori yang
menjelaskan tentang peranan konflik, terutama antara kelompok-kelompok dan
kelas-kelas dalam kehidupan sosial masyarakat.
- C. ASUMSI DASAR TEORI KONFLIK
Ada
beberapa asumsi dasar dari teori konflik ini. Teori konflik merupakan antitesis
dari teori struktural fungsional,
dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan
dalam masyarakat. Teori konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial.
Teori konflik melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada
pada keteraturan. Buktinya dalam masyarakat manapun pasti pernah mengalami
konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian teori konflik juga melihat
adanya dominasi, koersi,
dan kekuasaan dalam masyarakat. Teori konflik juga membicarakan mengenai
otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini menghasilkan
superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi
dapat menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Teori
konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan
sosial. Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan
sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik ekulibrium, teori konflik
melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan.
Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi
yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Menurut
teori konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan
yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh
karena itu, teori konflik lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power.
D. TOKOH-TOKOH TEORI
KONFLIK
Tokoh-tokoh
teori konflik terbagi ke dalam dua fase yakni tokoh sosiologi klasik dan tokoh
sosiologi modern. Adapun tokoh-tokoh teori konflik sosiologi klasik adalah
sebagai berikut:
1. Polybus
Polybus
lahir pada tahun 167 SM. Teori konflik yang dikemukakan oleh Polybus bertolak
dari keinginan manusian membentuk suatu komunitas sehingga teori konflik yang
dikemukakan polybus diformulasikan sebagai berikut:
- Monarki atau sistem pemerintahan dengan penguasa tunggal adalah kekuasaan terkuat yang merupakan bentuk pertama komunitas manusia.
- Transisi dari sistem pemerintahan penguasa tunggal yang didasarkan pada kekuasaan atau kekuatan, kingship (negara dalam sebuah kerajaan) kepada kekuasaan yang didasarkan pada keadilan dan wewenang yang sah.
2. Ibnu Khaldun
Nama
lengkapnya adalah Abu Zaid ‘Abdul Rahman Ibn Khaldun dilahirkan di Tunisia pada
tahun 1332 Masehi. Ibnu Khaldun adalah Sosiolog sejati. Hal ini didasarkan pada
pernyataannya tentang beberapa prinsip pokok untuk menafsirkan
peristiwa-peristiwa sosial dan peristiwa-peristiwa sejarah. Prinsip yang sama
juga dijumpai dalam analisis Ibnu Khaldun terhadap timbul dan tenggelamnya
Negara-negara.
3. Nicolo
Machiavelli
Nicolo
Machiavelli adalah seorang berkebangsaan Italia (1469-1527). Menurut
Machiavelli pada awalnya manusia hidup liar bagaikan binatang buas, ketika ras
manusia semakin meningkat jumlahnya mulai dirasakan kebutuhan akan adanya
hubungan dan kebutuhan pertahananan untuk menentang satu dengan yang lainnya
dan memilih seseorang yang sangat kuat dan berani untuk dijadikan sebagai
pemimpin mereka yang harus dipatuhinya. Kemudian mereka mengenal baik dan buruk
dan dapat membedakan mana yang baik dan yang jahat.
4. Jean Bodin
Inti
pemikiran Jean Bodin pada konsepsi titah kedaulatan sebagai esensi dari
masyarakat sipil. Namun demikian, kedaulatan tidak pernah bisa dipisahkan dari
prerogative formal. Hukum diperlakukan sebagai titah kedaulatan. Hukum adat
dipandang sah apabila didukung oleh kedaulatan, karena kedaulatan memiliki
wewenang tak terhingga untuk membuat hukum.
5. Thomas
Hobbes
Teori
konflik yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes adalah bahwa pada dasarnya dorongan
utama dari tindakan manusia diformulasikan sebagai berikut: pada tingkatan
pertama manusia dengan keinginannya terus-menerus dan kegelisahannya akan
kekuasaan setelah berkuasa, artinya rasa ingin berkuasa akan berhenti bilamana
sudah masuk liang kubur. Hal ini terwujud dalam dua hal, seorang raja dan
problematikanya karena keinginan untuk berkuasa adalah sesuatu hal yang tak
pernah mengalami kepuasan.
Adapun
tokoh sosiologi modern yang mengemukakan tentang teori konflik adalah sebagai
berikut:
1. Karl Marx
Karl
Marx berpendapat bahwa Konflik kelas diambil sebagai titik sentral dari
masyarakat. Konflik antara kaum kapitalis dan proletar adalah sentral di
masyarakat. Segala macam konflik mengasumsikan bentuk dari peningkatan
konsolidasi terhadap kekacauan. Kaum kapitalis telah mengelompokkan populasi
pada segelintir orang saja. Kaum borjuis telah menciptakan kekuatan produktif
dari semua generasi dalam sejarah sebelumnya. Tetapi kelas-kelas itu juga
berlawanan antara satu dengan yang lainnya. Masyarakat menjadi terpecah ke
dalam dua kelas besar yaitu borjuis dan proletar.
Dasar
analisis kalangan marxis adalah konsep kekuatan politik sebagai pembantu
terhadap kekuatan kelas dan perjuangan politik sebagai bentuk khusus dari
perjuangan kelas. Struktur administratif negara modern adalah sebuah komite
yang mengatur urusan sehari-hari kaum borjuis. Sebuah bagian dari produksi umum
membuat jalan masa depan bagi konflik-konflik ini. Hal itu memperkirakan bahwa
kelas menengah pada akhirnya akan hilang. Pedagang, perajin masuk ke dalam
golongan proletar sebab modal kecil tidak dapat bersaing dengan modal besar.
Sehingga proletar direkrut dari semua kelas populasi. Perbedaan antara kaum
buruh/pekerja kemudian akan terhapus. Kaum pekerja akan memulai bentuk
kombinasi. Konflik akan sering muncul di antara dua kelas ini. Kaum buruh
memulainya dengan bentuk perlawanan koalisi borjuis agar upah mereka terjaga.
Mereka membentuk perkumpulan yang kuat dan dapat memberikan dukungan kepada
mereka ketika perjuangan semakin menguat. Bagian dari proletar dengan
unsur-unsur pencerahan dan kemajuan, peningkatan potensial secara revolusioner.
2. Lewis A.
Coser
Konflik
dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat
memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke
dalam dunia sosial sekelilingnya.
Seluruh
fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok
yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Misalnya, pengesahan
pemisahan gereja
kaum tradisional (yang memepertahankan praktik- praktik ajaran katolik pra-
Konsili Vatican II) dan gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan gereja
Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun-
tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab
dan Israel.
Coser
melihat katup penyelamat
berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu
hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
menajam. Katup Penyelamat (savety-value) ialah salah satu mekanisme khusus yang
dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Katup penyelamat merupakan sebuah institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur.
Menurut
Coser konflik dibagi menjadi dua, yaitu:
- Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
- Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembalasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Menurut
Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik realistis
tanpa sikap permusuhan atau agresi. Contoh: Dua pengacara
yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan
menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk
saling berhadapan di meja hijau. Masing- masing secara agresif dan teliti
melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka
melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu.
Akan
tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk
dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin
besar rasa kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang
pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga
menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti
konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Coser
Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan
terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik
kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat
secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan
lemahnya integrasi kelompok
tersebut dengan masyarakat.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator
adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi
yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan
merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial.
Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai
indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
3. Ralf
Dahrendorf
- Sejarah Awal
Bukan
hanya Coser saja yang tidak puas dengan pengabaian konflik dalam pembentukan
teori sosiologi. Segera setelah penampilan karya Coser, seorang ahli sosiologi Jerman
bernama Ralf Dahrendorf menyadur teori kelas dan konflik kelasnya ke dalam
bahasa inggris
yang sebelumnya berbahasa Jerman agar lebih mudah difahami
oleh sosiolog Amerika
yang tidak faham bahasa Jerman saat kunjungan singkatnya ke Amerika
Serikat (1957- 1958). Dahrendorf tidak menggunakan teori Simmel
melainkan membangun teorinya dengan separuh penerimaan, separuh penolakan,
serta memodifikasi teori sosiologi Karl Marx.
Seperti halnya Coser, Ralf Dahrendorf mula- mula melihat teori konflik sebagai
teori parsial, menganggap teori tersebut merupakan perspektif yang dapat
dipakai untuk menganalisa fenomena sosial. Ralf Dahrendorf menganggap
masyarakat bersisi ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerja sama.
- Inti Pemikiran
Ralf
Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua
wajah yakni konflik dan konsensus. Sehingga teori sosiologi harus dibagi dua
bagian: teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus harus menguji
nilai integrasi dalam masyarakat dan teoriritis konflik harus menguji konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dihadapan
tekanan tersebut. Dahrendorf mengakui bahwa terbentuknya sebuah masyarakat
tidak akan terlepas dari adanya dua unsur yakni konsensus dan konflik yang
menjadi persyaratan satu sama lainnya.
Meski
ada hubungan timbal balik antara konsensus dan konflik, Dahrendorf tidak
optimis mengenai pengembangan teori sosiologi tunggal yang mencakup kedua
proses itu. Dia menyatakan “Mustahil menyatukan teori untuk menerangkan masalah
yang telah membingungkan pemikir sejak awal perkembangan filsafat barat”. Untuk
menghindarkan dari teori tunggal tersebut, Dahrendorf membangun teori konflik
Masyarakat.
Dahrendorf
mulai dengan dan sangat dipengaruhi oleh teori fungsionalisme struktural. Ia
menyatakan bahwa, menurut fungsionalis, sistem sosial dipersatukan oleh kerja
sama sukarela atau oleh konsensus bersama oleh kedua-duanya. Tetapi, menurut
teoritisi konflik bahwa masyarakat dipersatukan oleh “ketidakbebasan yang
dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat
mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta
kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa
perbedaan distribusi otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik
sosial sistematis”.
Dahrendorf
memusatkan perhatiannya pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya
adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam masyarakat mempunyai kualitas
otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi
di dalam posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam
analisis Dahrendorf. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan
subordinasi. Mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan
bawahan.
Otoritas
dalam setiap asosiasi bersifat dikotomi; karena itu hanya ada dua kelompok
konflik yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai
kepentingan tertentu. Di dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi
dominan berupaya mempertahankan staus quo, sedangkan orang yang berada
dalam posisi subordinat berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan
didalam asosiasi selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi. Ini
berarti legitimasi otoritas mulai terancam.
Ralf
Dahrendorf kemudian memaparkan tentang kelompok, konflik dan perubahan.
Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu
(quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama. Kedua
adalah kelompok kepentingan. Ketiga adalah kelompok konflik yang muncul dari
berbagai kelompok kepentingan.
Aspek
terakhir teori konflik dahrendorf adalah hubungan konflik dengan perubahan.
Dalam hal ini Dahrendorf mengakui pentingnya pemikiran Lewis A Coser yang
memusatkan perhatian pada fungsi konflik dalam mempertahankan status quo.
Akan tetapi, Dahrendorf menganggap fungsi konservatif dari konflik hanyalah
satu bagian realitas sosial, konflik juga mengakibatkan perubahan dan
perkembangan.
Singkatnya
Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok
itu melakukan tindakan yang melakukan perubahan dalam struktur sosial. Bila
konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai
dengan tindakan kekerasan maka akan terjadi perubahan struktur secara
tiba-tiba.
E. KRITIK UTAMA DAN
UPAYA MENGHADAPINYA
Teori
konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya teori ini diserang
karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme
structural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik
juga dikritik karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme structural
dikritik karena ideology konservatifnya. Bila dibandingkan dengan
fungsionalisme structural, teori konflik tergolong tertinggal dalam
perkembangannya. Teori ini hamper tak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan
teori turunan.
Teori
konflik Dahrendorf menjadi sejumlah analisis kritis. Hasil analisis kritis itu
sebagai berikut:
- Model Dahrendorf tidak secara jelas menjelaskan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan.
- Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf lebih banyak persamaannya dengan fungsionalisme struktural dibandingkan dengan teori Marxian.
- Seperti halnya teori fungsionalisme struktural teori konflik hampir seluruhnya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali untuk kita memahami pemikiran dan tindakan individu.
F. FUNGSI-FUNGSI
KONFLIK
Kritik
yang dilancarkan terhadap teori konflik dan fungsionalisme struktural maupun
kekurangan yang melekat di dalam masing-masing teori itu, menimbulkan beberapa
upaya untuk mengatasi masalahnya dengan merekonsiliasi atau mengintegrasikan
kedua teori tersebut. Asumsinya adalah bahwa dengan kombinasi maka kedua teori
tersebut itu akan menjadi lebih kuat ketimbang masing-masing berdiri sendiri.
Karya paling terkenal yang mencoba mengintegrasikan kedua perspektif ini
berasal dari Lewis A Coser, The Function of Social Conflict.
Menurut
Lewis A. Coser bahwa konflik mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut:
1)
Konflik dapat membantu mengeratkan ikatan kelompok yang berstruktur secara longgar.
Masyarakat yang mengalami disintegrasi atau berkonflik dengan masyarakat lain,
dapat memperbaiki kepaduan integrasi.
2)
Konflik dapat membantu menciptakan kohesi melalui aliansi dengan kelompok lain.
Contoh, konflik antara bangsa Arab dan Israel akan menimbulkan aliansi antara
Israel dan Amerika Serikat. Sehingga berkurangnya konflik Israel dengan Arab
mungkin dapat memperlemah hubungan antara Israel dan Amerika Serikat.
3)
Konflik dapat membantu mengaktifkan peran individu yang semula terisolasi.
Protes terhadap perang Vietnam memotivasi kalangan anak muda untuk pertama kali
berperan dalam kehidupan politik di Amerika. Dengan berakhirnya konflik Vietnam
muncul kembali semangat apatis dikalangan pemuda Amerika.
4)
Konflik juga dapat membantu fungsi komunikasi. Sebelum konflik,
kelompok-kelompok mungkin tidak percaya terhadap posisi musuh mereka, tetapi
akibat konflik, posisi dan batas antar kelompok ini sering menjadi diperjelas.
Oleh karena itu individu bertambah mampu memutuskan untuk mengambil tindakan
yang tepat dalam hubungannya dengan musuh mereka. Konflik juga memungkinkan
pihak yang bertikai menemukan ide yang lebih baik mengenai kekuatan relatif
mereka dan meningkatkan kemungkinan untuk saling mendekati atau saling
berdamai.
G. MANAJEMEN KONFLIK
Manajemen
konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar
dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang
berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk
tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi
kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di
luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah
informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi
efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak
ketiga.
Menurut
Ross bahwa manajemen konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku
atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah hasil tertentu
yang mungkin atau tidak mungkin menghasilkan suatu akhir berupa penyelesaian
konflik dan mungkin atau tidak mungkin menghasilkan ketenangan, hal positif,
kreatif, bermufakat, atau agresif. Manajemen konflik dapat melibatkan bantuan
diri sendiri, kerjasama dalam memecahkan masalah (dengan atau tanpa bantuan
pihak ketiga) atau pengambilan keputusan oleh pihak ketiga. Suatu pendekatan
yang berorientasi pada proses manajemen konflik menunjuk pada pola komunikasi
(termasuk perilaku) para pelaku dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
dan penafsiran terhadap konflik.
Fisher
menggunakan istilah transformasi konflik secara lebih umum dalam menggambarkan
situasi secara keseluruhan.
- Pencegahan Konflik, bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras.
- Penyelesaian Konflik, bertujuan untuk mengakhiri perilaku kekerasan melalui persetujuan damai.
- Pengelolaan Konflik, bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku positif bagi pihak-pihak yang terlibat.
- Resolusi Konflik, menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang bermusuhan.
- Transformasi Konflik, mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
Tahapan-tahapan
diatas merupakan satu kesatuan yang harus dilakukan dalam mengelola konflik.
Sehingga masing-masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya misalnya
pengelolaan konflik akan mencakup pencegahan dan penyelesaian konflik.
Sementara
Minnery menyatakan bahwa manajemen konflik merupakan proses, sama halnya dengan
perencanaan kota merupakan proses. Minnery juga berpendapat bahwa proses
manajemen konflik perencanaan kota merupakan bagian yang rasional dan bersifat
iteratif, artinya bahwa pendekatan model manajemen konflik perencanaan kota
secara terus menerus mengalami penyempurnaan sampai mencapai model yang
representatif dan ideal. Sama halnya dengan proses manajemen konflik yang telah
dijelaskan diatas, bahwa manajemen konflik perencanaan kota meliputi beberapa
langkah yaitu: penerimaan terhadap keberadaan konflik (dihindari atau
ditekan/didiamkan), klarifikasi karakteristik dan struktur konflik, evaluasi
konflik (jika bermanfaat maka dilanjutkan dengan proses selanjutnya),
menentukan aksi yang dipersyaratkan untuk mengelola konflik, serta menentukan
peran perencana sebagai partisipan atau pihak ketiga dalam mengelola konflik.
Keseluruhan proses tersebut berlangsung dalam konteks perencanaan kota dan
melibatkan perencana sebagai aktor yang mengelola konflik baik sebagai
partisipan atau pihak ketiga.
Teori-teori Konflik
Teori-teori
utama mengenai sebab-sebab konflik adalah:
- Teori Hubungan Masyarakat
Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan
dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat.
Sasaran:
meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok yang mengalami
konflik, serta mengusahakan toleransi dan agar masyarakat lebih bisa saling
menerima keragaman yang ada didalamnya.
- Teori Kebutuhan Manusia
Menganggap
bahwa konflik yang berakar disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik,
mental dan sosial) yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Hal yang sering menjadi
inti pembicaraan adalah keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi.
Sasaran:
mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak
terpenuhi, serta menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan itu.
- Teori Negosiasi Prinsip
Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
Sasaran:
membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan
berbagai masalah dan isu dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi
berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap.
Kemudian melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak
atau semua pihak.
- Teori Identitas
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh identitas yang terancam, yang sering berakar pada
hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran:
melalui fasilitas lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami
konflik, sehingga dapat mengidentifikasi ancaman dan ketakutan di antara pihak
tersebut dan membangun empati dan rekonsiliasi di antara mereka.
- Teori Kesalahpahaman Antarbudaya
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di
antara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran:
menambah pengetahuan kepada pihak yang berkonflik mengenai budaya pihak lain,
mengurangi streotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, meningkatkan
keefektifan komunikasi antarbudaya.
- Teori Transformasi Konflik
Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang muncul sebagai masalah sosial, budaya dan ekonomi.
Sasaran:
mengubah struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan
ketidakadilan termasuk kesenjangan ekonomi, meningkatkan jalinan hubungan dan
sikap jangka panjang di antar pihak yang berkonflik, mengembangkan proses dan
sistem.
H. KESIMPULAN
Dari
pemaparan diatas dapat dipahami bahwa teori Konflik telah dikemukakan oleh para
sosiolog baik oleh sosiolog klasik maupun sosiolog modern. Teori konflik klasik
cenderung memandang konflik ditinjau dari segi sifat alami manusia yang
cederung saling memusuhi dan saling menguasai terutama dalam hal kekuasaan.
Adapun teori konflik modern lebih bersifat kompleks dan muncul sebagai kritikan
atas teori fungsionalisme structural. Tokoh yang sangat terkenal dengan teori
konflik modern adalah Ralf Dahrendorf.
Namun
antara teori konflik dan teori fungsionalisme yang bertolak belakang dalam
pemahamannya dicoba untuk dikombinasikan menjadi sebuah gabungan teori yang
saling melengkapi. Lewis A Coser adalah salah satu tokoh yang mencoba
mempersatukan antara teori konflik dan teori fungsionalisme structural.
Setelah
memaparkan tentang teori konflik yang dikemukakan oleh para sosiolog pemakalah
mencoba menarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya kehidupan social yang kompleks
lebih mudah terjadi berbagai konflik. Konflik-konflik yang bermunculan seperti
sebuah hal alamiah yang sudah menjadi kodrat hidup bermasyarakat. Pada akhirnya
pemakalah berkesimpulan bahwa sesungguhnya teori-teori konflik yang dikemukakan
oleh para sosiolog cenderung bersifat parsial dengan tidak menjelaskan
bagaimana agar konflik dalam masyarakat dapat dicegah dan diselesaikan karena
semua manusia pada hakikatnya menghendaki perdamaian.
Teori
Konflik Lewis A. Coser
Lewis
A Coser lahir di Berlin, tahun 1913. Ia memusatkan perhatiannya pada kebijakan
sosial dan politik. Pasca Perang Dunia II, tamatan Universitas Columbia (1968)
ini mengajar di Universitas Chicago dan Universitas Brandeis tempat dimana dia
dinobatkan gelar guru besar. Tahun1975 Lewis Coser terpilih menjadi Presiden
American Sociological Association (ASA). Coser juga aktif sebagai columnis di
berbagai jurnal. Tulisan Coser yang terkenal adalah Greedy Institutions
alias Institusi Tamak.
Penulis
buku The Functons of Social Conflict ini, mengutip dan mengembangkan
gagasan George Simmel untuk kemudian dikembangkan menjadi penjelasan-penjelasan
tentang konflik yang menarik. Coser mengkritik dengan cara menghubungkan
berbagai gagasan Simmel dengan perkembangan fakta atau fenomena yang terjadi
jauh ketika Simmel masih hidup. Ia juga mengkritisi dan membandingkannya dengan
gagasan sosiolog-sosiolog klasik. Menambahkan dengan gagasan seperti dinyatakan
ahli psikologi seperti Sigmund Freud.
Hal
yang menarik dari Coser adalah bahwa ia sangat disiplin dalam satu tema. Coser
benar-benar concern pada satu tema-tema konflik, baik konflik tingkat eksternal
maupun internal. Ia mampu mengurai konflik dari sisi luar maupun sisi dalam.
Jika dihubungkan dengan pendekatan fungsionalisme, nampak ada upaya Coser untuk
mengintegrasikan fungionalisme dengan konflik.
Menurut
George Ritzer dalam melakukan kombinasi itu, baik teori fungsionalime maupun
teori konflik akan lebih kuat ketimbang berdiri sendiri.
Selama
lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi
dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa
model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan
beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda
(teori fungsionalis dan teori konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser mengakui beberapa
susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang
ditonjolkan oleh kaum fungsional struktural, tetapi dia juga menunjuk pada
proses lain yaitu konflik sosial. Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer
sering melihat konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih
untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif
yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu.
Seperti
halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup
seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan
suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah
premature. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalah sebesar Emile
Durkheim, Max Weber atau Karl Marx. Namun, Simmel mempertahankan
pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan
bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi dimana isi dunia empiris dapat
ditempatkan.
Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:
- Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
- Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.
Ikatan
Kelompok Dan Pemeliharaan Fungsi-Fungsi Konflik Sosial
Konflik
dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis
batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat
memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke
dalam dunia sosial di sekelilingnya.
Seluruh
fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok
yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita
dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja
perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional. Dalam ruang
lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat
lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya. Misalnya, pengesahan pemisahan
gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran Katolik
Pra-Konsili Vatican II) dan Gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan Gereja
Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun-
tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara
Arab dan Israel.
Katup
Penyelamat
Katup
penyelamat atau safety valve ialah salah satu mekanisme khusus yang
dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
“katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan
seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana” dalam kelompok
yang sedang kacau.
Coser
melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan
permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang
bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat ialah salah satu
mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan
konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah lembaga pengungkapan rasa
tidak puas atas sebuah sistem atau struktur. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Coser; lewat katup penyelamat itu, permusuhan dihambat agar tidak
berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga
biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk
menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun
membendung ketegangan dalam diri individu, menciptaan kemungkinan tumbuhnya
ledakan-ledakan destruktif.
Konflik
Realistis Dan Non Realistis
Dalam
membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realistis dan
yang tidak realistis.
- Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
- Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Banyak
individu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan prasangka terhadap
“orang-orang miskin penerima bantuan kesejahteraan sosial” (bumson welfare)
melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang diperoleh dengan susah payah.
Tetapi yang sebenarnya terjadi ialah bahwa sebagian besar pajak tersebut lebih
banyak jatuh ke tangan kaum kaya dalam bentuk subsidi atau secara tidak
langsung melalui pemotongan pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin.
Dengan
demikian dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik dan
non-realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh
sentiment-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena
pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain.
Permusuhan
Dalam Hubungan-Hubungan Sosial Yang Intim
Menurut
Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik reaistis tanpa
sikap permusuhan atau agresif. Sebagai contoh adalah: Dua pengacara yang selama
masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi
pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling
berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi
kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan
perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu. Contoh-contoh
dimana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya terdapat pada
hubungan-hubungan yang bersifat parsial atau segmented, daripada hubungan yang
melibatkan keseluruhan pribadi pada peserta.
Akan
tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka
pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk
dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin
besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga
kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang
pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi
dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan
membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan
tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga
menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti
konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.
Isu
Fungsionalitas Konflik
Coser
Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam
suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan
terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan
dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik
dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok
tersebut dengan masyarakat.
Dalam
struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya
suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang
selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan
peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan
demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari
kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Kondisi
Yang Mempengaruhi Konflik Dengan Kelompok Luar Dan Struktur Kelompok
Coser
menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok-luar akan membantu pemantapan
batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat
mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser (1956:92-93) berpendapat bahwa
“tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi” merupakan hubungan timbal
balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi
kelompok. Coser menegaskan bahwa kohesi sosial dalam kelompok mirip sekte
itu tergantung pada penerimaan secara total selurh aspek-aspek kehidupan
kelompok. Untuk kelangsungan hidupnya kelompok “mirip-sekte” dengan ikatan
tangguh itu bisa tergantung pada musuh-musuh luar. Konflik dengan
kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar yang realistis, tetapi konflik
ini sering (sebagaimana yang telah kita lihat dengan berbagai hubungan
emosional yang intim) berdasar atas isu yang non-realistis.
Coser
mengutip berbagai contoh fenomena itu dari catatan-catatan historis mengenai
kelahiran serta perkembangan serikat-serikat buruh. Akan tetapi contoh yang
sama dapat diitemukan pada bangsa yang sedang berperang, pada kelahiran sekte
keagamaan atau diantara kelompok-kelompok politik ekstrim di suatu Negara.
Sementara kontroversi internal tidak dapat ditolerir, misalnya di antara
kelompok-kelompok keagamaan mirip sekte seperti “The Children of God”,
perjuangan kelompok tersebut melawan kaum kafir mungkin memperkuat kemampuannya
untuk menarik serta memperahankan orang-orang yang baru masuk agamanya.
Bilamana perjuangan yang membawa kelompok demikian untuk memperhatikan media
perkabaran tiba-tiba terhenti, Coser mengatakan musuh-musuh baru mungkin
mencoba untuk lebih memperkuat perkembangan dan peningkaan kohesi
kelompok-kelompok yang demikian tak hanya mencapai identitas struktural lewat
oposisi dengan berbagai kelompok luar tetapi dalam perjuangannya juga
mengalami peningkatan integrasi dan kohesi.
Bilamana
contoh tentang “The Children of God” itu dilanjutkan maka kita dapat melihat
penjelasan dari proposisi yang berhubungan dengan ideology dan konflik. Para
anggota sekte terebut sering digambarkan sebagai kelompok fanatik. Singkatnya,
bilamana terdapat consensus dasar mengenai nilai-nilai inti yang ada dalam
suatu kelompok maka konflik dengan berbagai out-groups dapat memperkuat kohesi
internal suatu kelompok. Coser menyatakan bahwa kelompok-kelompok pejuang yang
diorganisir secara kaku mencari musuh demi mempermudah kesatuan dan kohesi
mereka.
Dengan
demikian jelas bahwa fungsionalisme tahun 1950-an, yang terfokus pada masalah
integrasi, telah mengabaikan isu konflik di dalam masyarkat. Pendekatan ini
cenderung melihat konflik bersifat mersak dan memecahbelah. Coser menunjukkan
bahwa konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan, dan lewat
sarana demikian kelompok-kelompok kepentingan melangsungkan masyarakat.
Kritik
Terhadap Strukturalisme Konflik
Walaupun
Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari kaum
fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya
terlihat bahwa Coser tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang
utama. Sumbangan Coser pada teori yang tetap terikat pada tradisi fungsionalisme
itu, walaupun tidak seketat model naturalis, dapat dilihat dari asumsi-asumsi
dasar tentang manusia dan masyarakat yang implicit tercakup dalam teorinya.
Coser mengatakan bahwa dia lebih menganggap teori konflik sebagai teori parsial
daripada sebagai pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Dia
sependapat dengan Robin William yang menyatakan “masyarakat aktual terjalin
bersama oleh konsensus, oleh saling ketergantungan, oleh sosiabilitas dan oleh
paksaan. Tugas yang sesungguhnya ialah menunjukkan bagaimana berbagai proses
serta struktur sosial aktual yang berjalan di sana dapat diramalkan dan
dijelaskan. Pandangan Coser tentang teori sosiologis adalah suatu kesatuan
pandangan yang mencakup teori-teori konflik maupun konsensus yang parsial.
Teori-teori parsial demikian itu merangsang para pengamat sehingga peka
terhadap satu atau lebih perangkat data yang relevan bagi penjelasan teoritis
yang menyeluruh.
Dalam
tradisi Durkheim, yang menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi
harus menggunakan fakt-fakta sosial lainnya, Coser mengetengahkan kebutuhan
teori sosiologis yang menggunakan indikator obyektif untuk menjelaskan realitas
sosial. Bagi Coser realitas bukan merupakan realitas subyektif seperti rumusan
Charles Horon Cooley atau George Herbert Mead, tetapi realitas obyektif seperti
yang dimaksud oleh Durkheim dan kaum fungsionalisme lainnya. Dengan demikian
orang dihambat oleh kekuatan struktur sosial yang membatasi kebebasan dan
kreativitas.
Jelaslah
bagi Coser maupun kaum fungsionalisme struktural bahwa struktur sosial ada di
dalam dirinya sendiri dan bergerak sebagai kendala. Coser mengungkapkan
“sosiologi konflik harus mencari nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang
tertanam secara struktural sehingga membuat manusia saling terlibat dalam
konflik, bilamana ia tidak ingin larutkan kedalam penjelasan psikologis
mengenai agresivitas bawaan, dosa turunan, atau kebengalan manusia. Apa yang
disumbangkan Coser kepada orientasi fungsionalisme ialah deskripsi mengenai
bagaimana struktur-struktur sosial itu dapat merupakan produk konflik dan
bagaimana mereka dipertahankan oleh konflik. Proposisinya sebagian besar
berkisar di seputar intensitas dan fungsi konflik bagi lembaga-lembaga sosial.
Walaupun
Coser terikat pada kesatuan teori masyrakat yang ilmiah, tetapi dia menolak
setiap gerakan kearah naturalism atau determinisme yang ekstrim pada setiap
tindakan manusia. Pendekatan ini terlihat dalam orientasi metodologisnya yang
bebas menggunakan sejarah sebagai sumber data untuk mendukung
pernyataan-pernyataan teoritisnya. Seperti banyak karya-karya yang disebut
sebagai teori dalam sosiologi, karya Coser juga mengandung kelemahan-kelemahan
metodologis.
sipp
BalasHapus