Teori Fungsionalisme
Struktural menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik dan
perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi,
fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan. Menurut teori ini masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi
pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi
dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, adalah fungsional
terhadap yang lain. Sebaliknya kalu tidak fungsional maka struktur itu tidak
akan ada atau akan hilang dengan sendirinya.
Secara ekstrim penganut
teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah
fungsional bagi sutu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan
dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori Fungsionalisme
Struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan Robert K. Merton
sebagai penganut teori ini berpendapat bahwa objek analisa sosiologi adalah
fakta sosial seperti; peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok,
pengendalian sosial.
Penganut teori fungsional
menganggap segala pranata sosial yang ada dalam suatu masyarakat tertentu serba
fungsional dalam artian positif dan negative. Merton mengistilahkan ‘fungsional dan disfungsional’. Contohnya;
perbudakan dalam sistem sosial Amerika Serikat lama khususnya bagian selatan.
Perbudakan jelas fungsional bagi masyarakat Amerika Serikat kulit putih. Karena sistem tersebut dapat
menyediakan tenaga buruh yang murah, memajukan ekonomi pertanian kapas serta
menjadi sumber status sosial terhadap kulit putih. Tetapi sebaliknya,
perbudakan bersifat disfungsi. Sistem perbudakan membuat orang sangat
tergantung kepada sistem ekonomi agraris sehingga tidak siap untuk memasuki
industrialisasi.
Dari pendapat Merton
tentang fungsi, maka ada konsep barunya yaitu mengenai sifat dari fungsi.
Merton membedakan atas fungsi manifest dan fungsi latent. Fungsi
manifest adalah fingsi yang diharapkan (intended) atau fungsional.
Fungsi manifest dari institusi perbudakan di atas adalah untuk
meningkatkan produktifitas di Amerika Selatan. Sedangkan fungsi latent
adalah sebaliknya yaitu fungsi yang tidak diharapkan, sepanjang menyangkut
contoh di atas fungsai latentnya adalah
menyediakan kelas rendah yang luas.
Penganut Teori
Fungsionalisme Struktural sering dituduh mengabaikan variabel konflik dan
perubahan sosial dalam teori-teori mereka. Karena terlalu memberikan tekanan
pada keteraturan (order) dalam
masyarakat dan mengabaikan konflik dan perubahan sosial, mengakibatkan golongan
fungsional ini dinilai sebagai secara ideologis sebagai konservatif. Bahkan ada
yang menilai golongan fungsional ini sebagai agen teoritis dari status quo.
Hal penting yang dapat
disimpulkan bahwa masyarakat menurut kacamata teori fungsional senantiasa
berada dalam keadaaan berubah secara berangsur-angsur dengan tetap memelihara
keseimbangan. Setiap peristiwa dan setiap struktur yang ada, fungsional bagi
sistem sosial itu. Demikian pula dengan institusi yang ada, diperlukan oleh
sistem sosial itu, bahkan kemiskinan serta kepincangan sosial sekalipun.
Masyarakat dilihat dalam kondisi dinamika dalam keseimbangan
Asumsi dasar
Teori fungsionalisme
struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu
sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional
yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Asumsi-asumsi dasarnya
adalah bahwa seluruh struktur sosial atau setidaknya diprioritaskan, menyumbang
terhadap suatu integrasi dan adaptasi sistem yang berlaku, artinya pemikiran
structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu
menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ
yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi
agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan
pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk
mencapai keteraturan sosial.
Fungsionalisme Sruktural
1. Teori
Stratifikasi Struktural-Fungsional & Kritiknya (Kingsley Davis dan Wilbert
Moore)
Menurut
mereka, dalam masyarakat pasti ada stratifikasi atau kelas, stratifikasi sosial
merupakan fenomena yang penting dan bersifat universal. Stratifikasi adalah
keharusan fungsional, semua masyarakat memerlukan sistem seperti dan keperluan
ini sehingga memerlukan stratifikasi. Mereka memandang sistem stratifikasi
sebagai sebuah struktur, dan tidak mengacu pada stratifikasi individu pada
system stratifikasi, melainkan pada sistem posisi (kedudukan).
Pusat
perhatiannya ialah bagaimana agar posisi tertentu memiliki tingkat prestise
berbeda dan bagaimana agar individu mau mengisi posisi tersebut. Masalah
fungsionalnya ialah bagaimana cara masyarakat memotivasi dan menempatkan setiap
individu pada posisi yang tepat. Secara stratifikasi masalahnya ialah bagaimana
meyakinkan individu yang tepat pada posisi tertentu dan membuat individu
tersebut memiliki kualifikasi untuk memegang posisi tersebut.
Penempatan sosial dalam masyarakat menjadi
masalah karena tiga alasan mendasar,
a. Posisi
tertentu lebih menyenangkan daripada posisi yang lain
b. Posisi
tertentu lebih penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat daripada posisi
yang lain
c. Setiap
posisi memiliki kualifikasi dan bakat yang berbeda.
Posisi
yang tinggi tingkatannya dalam stratifikasi cenderung untuk tidak diminati
tetapi penting untuk menjaga keberlangsungan masyarakat, juga memerlukan bakat
dan kemampan terbaik. Pada keadaan ini masyarakat dianjurkan agar memberi
reward kepada individu yang menempati posisi tersebut agar dia menjalankan
fungsinya secara optimal. Jika ini tidak dilakukan maka masyarakat akan
kekurangan individu untuk mengisi posisi tesebut yang berakibat pada
tercerai-berainya masyarakat.
Adapun kritik terhadap Teori Stratifikasi
Struktural-Fungsional ialah :
a. Teori ini menolak keberadaan
masyarakat tanpa kelas pada waktu kapanpun.
b. Teori ini melanggengkan orang yang
pada keadaan awal telah memiliki kekuasaan, prestise dan uang.
c. Posisi penting yang disebutkan dalam teori
ini merupakan sesuatu yang relatif satu dengan yang lain.
2. Fungsionalisme Struktural
Taclott Parsons
Fungsionalisme Struktural
Parsons mengenal empat fungsi penting untuk semua system dan terkenal dengan
istilah AGIL. Fungsi-fungsi penting tersebut ialah Adaptation, Goal Atteinment,
Integration, dan Latency.
a. Adaptation ( adaptasi), Sistem tersebut harus
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan setelah itu membuat lingkungan
sesuai dengan kebutuhan.
b. Goal Atteinment
(Pencapaian tujuan), Sistem tersebut harus mendefenisikan dan mencapai
tujuannya.
c. Integration
(integrasi), Sistem tersebut harus mampu mensinergiskan antar komponen dalam
sistem tersebut dan juga ketiga fungsi yang lain (Adaptation, Goal Atteinment,
Latency)
d. Latency( pemeliharaan
pola), Sistem tersebut juga harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik
motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang
motivasi.
Parson mendesain skema agil
diatas untuk digunakan disemua tingkat dalam sistem teoritisnya, yaitu:
Organisme perilaku ialah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi,
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan eksternal. Sistem
kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan
system dan mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan. Sistem
Sosial menjalankan fungsi integrasi dengan mengendalikan setiap komponennya.
Dan Sistem Kultural melaksanakan fungsi pemeliharaan pola.
3. Fungsionalisme
Struktural Robert K. Merton
Sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih
dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas
tentang teori-teori fungsionalisme, (ia) adalah seorang pendukung yang
mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa
pendekatan ini (fungsional-struktural) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan
sosiologis.
Merton telah mengutip tiga postulat yang ia
kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :
postulat pertama,
adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan
dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan
keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik
berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton
memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat
adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya
dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula
bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.
postulat kedua,
yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan
kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat
ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial
terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam
bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus
dipertimbangkan.
postulat ketiga, yaitu
indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban,
setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi
penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian
penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan.
Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur (dalam artian tak
memiliki kejelasan), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.
D. Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan
Sosial dan Pendidikan
Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini
menjadi sub-sistem yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan
fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang berbeda dan
terorganisir secara simbolis :
1. Pencarian pemuasan
psikis
2. Kepentingan dalam
menguraikan pengrtian-pengertian simbolis
3. Kebutuhan untuk
beradaptasi dengan lingkungan organis-fisis, dan
4. Usaha untuk berhubungan
dengan anggota-anggota makhluk manusia lainnya.
Sebaliknya masing-masing sub-sistem itu,
harus memiliki empat prasyarat fungsional yang harus mereka adakan sehingga
bias diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling
ketergantungan masing-masing system itu ketika dia menyatakan: “secara
konkrit, setiap system empiris mencakup keseluruhan, dengan demikian tidak ada
individu kongkrit yang tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota
dan sistem sosial, dan peserta dalam sistem cultural“.
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki
banyak pemuka yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan
tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu
studi tentang struktur-struktur social sebagai unit-unit yang terbentuk atas
bagian-bagian yang saling tergantung.
Fungsionalisme struktural sering menggunakan
konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. System ialah
organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang saling tergantung. Ilustrasinya
bisa dilihat dari system listrik, system pernapasan, atau system sosial. Yang
mengartikan bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai,
rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah sistem, maka
struktur yang terdapat di masyarakat akan memiliki kemungkinan untuk selalu
dapat berubah. Karena system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan
tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan hingga mencapai
posisi yang seimbang dan hal itu akan terus berjalan seiring.
BIOGRAFI
SINGKAT TALCOTT PARSONS
Talcott Parsons dilahirkan
di Colorado Springs, Colorado, USA pada 13 Desember
1902 dan meninggal pada 8 Mei 1979 di Munich, Jerman pada usia 76 tahun. [3]
Dia adalah seorang sosiolog yang cukup terkenal dengan pemikiran-pemikirannya.
Parsons lahir dalam sebuah keluarga yang memiliki latar belakang yang saleh dan
intelek. Ayahnya adalah seorang pendeta gereja kongregasional, seorang profesor
dan presiden dari sebuah kampus kecil. Pada tahun 1920 ia masuk ke Amherts
College dan mendapatkan gelar sarjananya pada tahun 1924. Setelah itu, ia
melanjutkan studi pasca sarjana di London School of Economics.
Pada tahun 1925, Parsons pindah ke Heidelberg, Jerman. Di kota ini, ia ikut
serta dalam sebuah pertemuan-pertemuan yang didirikan oleh MaxWeber yang wafat
lima tahun sebelum kedatangannya. Parsons sangat dipengaruhi oleh karya Weber
dan sebagian desertasi doktoralnya di Heidelberg membahas karya Weber. Pada
tahun 1927, ia menjadi instruktur dalam ekonomi di Amherts. Parsons menjadi
pengajar di Harvard pada tahun 1927, dan meskipun ia berpindah jurusan beberapa
kali, Parsons tetap berada di Harvard sampai dengan ia wafat pada tahun 1979.
Perjalanan kariernya tidak pesat. Ia tidak memperoleh posisi tetap sampai
dengan tahun 1939. Dua tahun sebelumnya yakni pada 1937, ia mempublikasikan
sebuah buku yang menjadi dasar bagi teori-teorinya, yaitu buku The Structure of
Social Action. Satu buku yang tidak hanya memperkenalkan teoritisi-teoritisi
sosial utama semisal Weber kepada sosiolog lain.
Sesudah itu karier akademis
Parsons maju pesat. Sejak tahun 1944, ia menjadi ketua jurusan sosiologi di Harvard, Amerika Serikat. Pada tahun 1946, ia menjadi ketua
jurusan hubungan sosial di universitas tersebut, yang tidak hanya memasukkan
sosiolog, tetapi juga berbagai sarjana ilmu sosial lainnya. Pada tahun 1949, ia
dipilih sebagai Presiden Assosiasi Sosiologi Amerika. Dan pada tahun 1951 ia
menjadi tokoh dominan sosiologi Amerika seiring dengan terbitnya buku karyanya
The Social System. Pada akhir 1960-an, Parsons mendapat serangan oleh sayap
radikal sosiologi Amerika yang baru muncul, karena ia dipandang konservatif
(dalam sikap politiknya maupun teori-teorinya). Selain itu teori-teorinya juga
dipandang hanya sebagai skema kategorisasi panjang-lebar yang rumit.
Pada tahun 1980-an, teori-teorinya diminati di seluruh dunia. Menurut Holton dan Turner (1986), karya-karya Parsons memberikan kontribusi lebih besar bagi teori sosiologi, daripada Marx, Weber maupun Durkheim. Selain itu, ide-ide pemikiran Parsons maupun teori-teorinya, tidak hanya mempengaruhi para pemikir konservatif namun juga teoretisi Neo-Marxian (khususnya Jurgen Habermas) Setelah kematian Parsons, sejumlah bekas mahasiswanya, semuanya sosiolog sangat terkenal, merenungkan arti penting teorinya maupun pencipta teori itu sendiri. Robert Merton, adalah salah seorang mahasiswanya ketika Parsons baru saja mulai mengajar di Harvard. Merton menjadi teoritisi terkenal karena teori ciptaannya sendiri, menjelaskan bahwa mahaiswa pascasarjana yang datang ke Harvard, di tahun-tahun itu bukan hendak belajar dengan Parsons tetapi juga dengan Sorokin,salah seorang anggota senior jurusan sosiologi yang menjadi musuh utama Parsons. Celaan Merton mengenai kuliah pertama Parsons dalam teori juga menarik, terutama karena materi yang disajikan adalah basis untuk salah satu buku teori yang paling berpengaruh pada sosiologi. Berdasarkan semua hasil karyanya, Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis struktural modern terbesar hingga saat ini.
Pada tahun 1980-an, teori-teorinya diminati di seluruh dunia. Menurut Holton dan Turner (1986), karya-karya Parsons memberikan kontribusi lebih besar bagi teori sosiologi, daripada Marx, Weber maupun Durkheim. Selain itu, ide-ide pemikiran Parsons maupun teori-teorinya, tidak hanya mempengaruhi para pemikir konservatif namun juga teoretisi Neo-Marxian (khususnya Jurgen Habermas) Setelah kematian Parsons, sejumlah bekas mahasiswanya, semuanya sosiolog sangat terkenal, merenungkan arti penting teorinya maupun pencipta teori itu sendiri. Robert Merton, adalah salah seorang mahasiswanya ketika Parsons baru saja mulai mengajar di Harvard. Merton menjadi teoritisi terkenal karena teori ciptaannya sendiri, menjelaskan bahwa mahaiswa pascasarjana yang datang ke Harvard, di tahun-tahun itu bukan hendak belajar dengan Parsons tetapi juga dengan Sorokin,salah seorang anggota senior jurusan sosiologi yang menjadi musuh utama Parsons. Celaan Merton mengenai kuliah pertama Parsons dalam teori juga menarik, terutama karena materi yang disajikan adalah basis untuk salah satu buku teori yang paling berpengaruh pada sosiologi. Berdasarkan semua hasil karyanya, Talcott Parsons adalah tokoh fungsionalis struktural modern terbesar hingga saat ini.
C. FUNGSIONALISME STRUKTURAL TALCOTT
PARSONS
Teori adalah seperangkat
pernyataan-pernyataan yang secara sistematis berhubungan atau sering dikatakan
bahwa teori adalah sekumpulan konsep, definisi, dan proposisi yang saling
kait-mengait yang menghadirkan suatu tinjauan sistematis atau fenomena yang ada
dengan menunjukkan hubungan yang khas diantara variabel-variabel dengan maksud
memberikan eksilorasi dan prediksi.
Disamping itu, ada yang menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan
pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang merupakan cermin dari kenyataan
yang ada mengenai sifat-sifat suatu kelas, peristiwa atau suatu benda. Teori
harus mengandung konsep, pernyataan, definisi, baik itu definisi teoritis
maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat teoritis dan logis antara
konsep tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori didalamnya
harus terdapat konsep, defenisi dan proposisi, hubungan logis diantara
konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan
untuk eksplorasi dan prediksi.Talcott Parsons melahirkan teori fungsional
tentang perubahan.
Dalam teorinya Parsons
menganalogikan perubahan sosial dalam masyarakat seperti halnya pertumbuhan
pada makhluk hidup. Komponen utama
pemikiran Parsons adalah adanya proses diferensiasi. Parsons berpendapat bahwa
setiap masyarakat tersusun dari sekumpulan subsistem yang berbeda berdasarkan
strukturnya maupun berdasarkan makna fungsionalnya bagi masyarakat yang lebih
luas. Ketika masyarakat berubah, umumnya masyarakat tersebut akan tumbuh dengan
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya. Dapat
dikatakan, Parsons termasuk dalam golongan yang memandang optimis sebuah proses
perubahan.
D. MAKNA TEORI FUNGSIONALISME
STRUKTURAL
Pendekatan fungsional
berusaha untuk melacak penyebab perubahan sosial sampai ketidakpuasan
masyarakat akan kondisi sosialnya yang secara pribadi mempengaruhi diri mereka.
Pendekatan ini merupakan suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya
dalam ilmu sosial di abad sekarang. Fungsionalisme struktural adalah sebuah
sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan
masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling
berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal
fungsi dari elemen-elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan
institusi. Fungsi dikaitkan sebagai
segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau
kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem. Ada empat persyaratan mutlak yang harus
ada supaya termasuk masyarakat bisa berfungsi. Keempat persyaratan itu
disebutnya AGIL. AGIL adalah singkatan dari Adaption, Goal, Attainment,
Integration, dan Latency. Demi keberlangsungan hidupnya, maka masyarakat harus
menjalankan fungsi-fungsi tersebut, yakni;
1. Adaptasi
(adaptation): supaya masyarakat bisa bertahan dia harus mampu menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan dengan dirinya.
2. Pencapain
tujuan (goal attainment): sebuah sistem harus mampu menentukan tujuannya dan
berusaha mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan itu.
3. Integrasi
(integration): masyarakat harus mengatur hubungan di antara
komponen-komponennya supaya dia bisa berfungsi secara maksimal.
4. Latency atau
pemeliharaan pola-pola yang sudah ada: setiap masyarakat harus mempertahankan,
memperbaiki, dan membaharui baik motivasi individu-individu maupun pola-pola
budaya yang menciptakan dan mepertahankan motivasi-motivasi itu.
a. Sistem
Tindakan Sistem tindakan diperkenalkan Parsons dengan skema AGIL-nya yang
terkenal. Parsons meyakini bahwa terdapat empat karakteristik terjadinya suatu
tindakan, yakni Adaptation, Goal Atainment, Integration, Latency. Sistem
tindakan hanya akan bertahan jika memeninuhi empat criteria ini. Sistem
mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu sama
lain. Kesatuan antara bagian itu pada umumya mempunyai tujuan tertentu. Dengan
kata lain, bagian-bagian itu membentuk satu kesatuan (sistem) demi tercapainya
tujuan atau maksud tertentu.
1) Sistem
organisme biologis (aspek bilogis manusia sebagai satu sistem), dalam sistem
tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni menyesuaikan diri dengan
lingkungan dan mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhan.
2) Sistem
kepribadian, melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan
menggerakkan seluruh sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan itu.
3) Sistem
sosial berhubungan dengan fungsi integrasi dengan mengontrol komponen-komponen
pembentuk masyarakat itu.
4) Sistem
kebudayaan berhubungan dengan fungsi pemeliharaan pola-pola atau
struktur-struktur yang ada dengan menyiapkan norma-norma dan nilai-nilai yang
memotivasi mereka dalam berbuat sesuatu.
Sedangkan defenisi sistem-sistem di
atas menurut Talcott Parsons adalah sebagai berikut:
a) Sistem
organisme atau aspek biologis dari manusia. Kesatuan yang paling dasar dalam
arti biologis, yakni aspek fisik dari manusia itu. Hal lain yang termasuk ke
dalam aspek fisik ini ialah lingkungan fisik di mana manusia itu hidup.
b) Sistem
kepribadian. Kesatuan yang paling dasar dari unit ini ialah individu yang
merupakan aktor atau pelaku. Pusat perhatiannya dalam analisa ini ialah
kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap, seperti motivasi untuk mendapat
kepuasan atau keuntungan.
c) Sistem
sosial. Sistem sosial adalah interaksi antara dua atau lebih individu di dalam
suatu lingkungan tertentu. Tetapi interaksi itu tidak terbatas antara
individu-individu melainkan juga terdapat antara kelompok-kelompok,
institusi-institusi, masyarakat-masyarakat, dan organisasi-organisasi
internasional. Sistem sosial selalu terarah kepada equilibrium (keseimbangan).
d) Sistem
budaya. Dalam sistem ini, unit analisis yang paling dasar adalah kepercayaan
religius, bahasa, dan nilai-nilai.
b. Skema Tindakan Empat komponen skema
tindakan:
1) Pelaku atau
aktor: aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu
koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai
tujuan.
2) Tujuan
(goal): tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras denga nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat.
3) Situasi:
tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang
termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.
4)
Standar-standar normatif: ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut
Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau
aturan yang berlaku.
c. Perubahan Sosial Konsep perubahan
sosial Parsons bersifat perlahan-lahan dan selalu dalam usaha untuk
menyesuaikan diri demi terciptanya kembali equilibrium. Dengan kata lain,
perubahan yang dimaksudkan oleh Parsons itu bersifat evolusioner dan bukannya
revolusioner. Konsep tentang perubahan yang bersifat evolusioner dari Parsons
dipengaruhi oleh para pendahulunya seperti Aguste Comte, Hebert Spencer, dan
Emile Durkheim.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan sekumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan memiliki ketergantungan.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat menjadi satu kesatuan atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan sekumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan memiliki ketergantungan.
Talcott Parsons menggunakan
pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan
prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan yang ada di Amerika, juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte,
Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang
menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks. Teori Fungsionalisme Struktural mempunyai
latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan
organisme biologis dengan struktur social dan berpandangan tentang adanya
keteraturan dalam masyarakat. Teori Fungsionalisme Struktural Parsons
mengungkapkan suatu keyakinan yang optimis terhadap perubahan dan kelangsungan
suatu sistem. Akan tetapi optimisme Parsons itu dipengaruhi oleh keberhasilan
Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kejayaan setelah depresi yang
parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang kelihatannya mencemaskan
dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih lanjut maka
optimism teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana dinyatakan oleh Gouldner
(1970:142) bahwa untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang dengan
jelas memiliki batas-batas strukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori
baru Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan
realitas personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki.
Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya, teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus yang akan mewujudkan keseimbangan baru. Variable yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.
Teori Struktural Fungsional mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama dari berbagai pemikir teori fungsionalisme adalah untuk mendefinisikan kegiatan yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Terdapat beberapa bagian dari sistem sosial yang perlu dijadikan fokus perhatian, antara lain: faktor individu, proses sosialisasi, sistem ekonomi, pembagian kerja dan nilai atau norma yang berlaku.
Pemikir fungsionalis menegaskan bahwa perubahan diawali oleh tekanan-tekanan kemudian terjadi integrasi dan berakhir pada titik keseimbangan yang selalu berlangsung tidak sempurna. Artinya, teori ini melihat adanya ketidakseimbangan yang abadi yang akan berlangsung seperti sebuah siklus yang akan mewujudkan keseimbangan baru. Variable yang menjadi perhatian teori ini adalah struktur sosial serta berbagai dinamikanya. Penyebab perubahan dapat berasal dari dalam maupun dari luar sistem sosial.
Gagasan-gagasan inti dari
fungsionalisme ialah perspektif holistis (bersifat menyeluruh), yaitu
sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh bagian-bagian demi tercapainya
tujuan-tujuan dari keseluruhan, kontinuitas dan keselarasan dan tata
berlandaskan consensus mengenai nilai-nilai fundamental. Teori fungsional ini
menganut faham positivisme, yaitu suatu ajaran yang menyatakan bahwa spesialisasi
harus diganti dengan pengujian pengalaman secara sistematis. Sehingga dalam
melakukan pengkajian haruslah mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan
demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris berdasarkan tujuan membangun
ilmu dan bukan untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional bertujuan untuk
menemukan hukum-hukum universal (generalisasi) dan bukan mencari
keunikan-keunikan (partikularitas). Dengan demikian, teori fungsional
berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin
mengambilnya secara keseluruhan sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya,
agar dapat mengkaji relitas universal tersebut maka diperlukan representasi
dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata
lain, keterwakilan (representatifitas) menjadi sangat penting.
Pendekatan fungsionalisme –
struktural dapat dikaji melalui anggapan-anggapan dasar berikut ini.
1. Masyarakat
haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan satu sama lain.
2. Hubungan saling mempengaruhi di
antara bagian-bagian suatu sistem bersifat timbal balik.
3. Sekalipun
integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun secara
fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan yang
bersifat dinamis.
4. Sistem
sosial senantiasa berproses ke arah integrasi, sekalipun terjadi ketegangan,
disfungsi dan penyimpangan.
5.
Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara gradual (perlahan-lahan
atau bertahap), melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
6. Faktor
paling penting yang memiliki daya integrasi suatu sistem sosial adalah
konsensus atau mufakat di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai
kemasyarakatan tertentu.
Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas Parsons, Peter Hamilton berpendapat bahwa
Demi memudahkan kajian teori-teori yang digagas Parsons, Peter Hamilton berpendapat bahwa
Teori Parsonsian dapat dibagai ke
dalam 3 fase.
1. Fase
Permulaan. Fase ini berisi tahap-tahap perkembangan atas teori Voluntaristik
(segi kemauan) dari tindakan sosial dibandingkan dengan pandangan-pandangan
sosiologi yang positivistis, utilitarian, dan reduksionis.
2. Fase Kedua.
Fase ini berisi gerakannya untuk membebaskan diri dari kekangan teori tindakan
sosial yang mengambil arah fungsionalisme struktural ke dalam pengembangan
suatu teori tindakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat penting.
3. Fase Ketiga.
Fase ini terutama mengenai model sibernetik (elektronik pengendali) dari
sistem-sistem sosial dan kesibukannya dalam mendefinisikan dan menjelaskan
perubahan sosial.
Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu: ia mencoba untuk mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas hubungan-hubungan antara teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-kesimpulan metodologis dan epistemologis dari apa yang dinamakan sebagai konsep sistem teoritis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoritis dan metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.
Dari ketiga fase tersebut, dapat dinyatakan bahwa Parsons telah melakukan tugas penting, yaitu: ia mencoba untuk mendapatkan suatu penerapan dari sebuah konsep yang memadai atas hubungan-hubungan antara teori sosiologi dengan ekonomi. Ia juga mencari kesimpulan-kesimpulan metodologis dan epistemologis dari apa yang dinamakan sebagai konsep sistem teoritis dalam ilmu sosial. Ia mencari basis-basis teoritis dan metodologis dari gagasan tindakan sosial dalam pemikiran sosial.
E. EMPAT FUNGSI IMPERATIF SISTEM
TINDAKAN (AGIL)
Poloma menyatakan bahwa
dalam teori struktural fungsional Parsons ini, terdapat empat (4) fungsi untuk
semua sistem tindakan. Secara sederhana fungsionalisme struktural adalah sebuah
teori yang pemahamannya tentang masyarakat didasarkan pada model sistem organik
dalam ilmu biologi. Artinya, fungsionalisme melihat masyarakat sebagai sebuah
sistem dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Satu
bagian tidak bisa dipahami terpisah dari keseluruhan. Dengan demikian, dalam
perspektif fungsionalisme ada beberapa persyaratan atau kebutuhan fungsional
yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan. Parsons kemudian
mengembangkan apa yang dikenal sebagai imperatif-imperatif fungsional agar
sebuah sistem bisa bertahan. Imperatif-imperatif tersebut adalah: Adaptasi,
Pencapaian Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL
(Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency).
1. Adaptasi.
Sebuah sistem ibarat
makhluk hidup. Artinya agar dapat terus berlangsung hidup, sistem harus dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Harus mampu bertahan ketika
situasi eksternal sedang tidak mendukung.
2. Goal (Pencapaian)
Sebuah sistem harus
memiliki suatu arah yang jelas, dapat berusaha mencapai tujuan utamanya. Dalam
syarat ini, sistem harus dapat mengatur, menentukan dan memiliki sumber daya
untuk menetapkan dan mencapai tujuan yang bersifat kolektif.
3. Integrasi
Sebuah sistem harus
mengatur hubungan antar bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus
dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4. Latensi
Pemeliharaan pola, sebuah
sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaiki pola-pola cultural yang
menciptakan dan menopang motivasi.
Sistem Kultural (Latency)
Sistem Sosial (Integration) Organisme Perilaku (Adaptation) Sistem Kepribadian
(Goal Attainment) Berdasarkan skema AGIL di atas, dapat disimpulkan bahwa
klasifikasi fungsi sistem adalah sebagai Pemeliharaan Pola (sebagai alat
internal), Integrasi (sebagai hasil internal), Pencapaian Tujuan (sebagai hasil
eksternal), Adaptasi (alat eksternal). Pada skema sistem tindakan tersebut,
dapat dilihat bahwa Parson menekankan pada hierarki yang jelas. Pada tingkatan
yang paling rendah yaitu pada lingkungan organis, sampai pada tingkatan yang
paling tinggi, realitas terakhir. Dan pada tingkat integrasi menurut sistem
Parsons terjadi atas 2 cara : pertama, masing-masing tingkat yanng lebih rendah
menyediakan kondisi atau kekuatan yang diperlukan untuk tingkatan yang lebih
tinggi. Kedua, tingkat yang lebih tinggi mengendalikan tingkat yang berada
dibawahnya.
F. TINDAKAN SOSIAL DAN ORIENTASI
SUBJEKTIF
Teori Fungsionalisme
Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog
Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya
tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan
itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma
yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih
sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau
kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan
norma.
Prinsip-prinsip pemikiran
Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada
tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya
sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan
penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa
tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar,
yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi dan norma.
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
G. KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME
STRUKTURAL TALCOTT PARSONS
Parsons menggunakan
masyarakat Amerika sebagai bentuk masyarakat yang terstruktur dengan baik.
Namun jika menggunakan konsep AGIL yang telah diungkapkan Parsons, ia telah
gagal menganalisis masyarakat Inggris yang pada saat ini masih berbentuk
kerajaan. Seperti yang diungkapkan Parsons sebelumnya bahwa era evolusi akhir
tidak boleh terkontaminasi dengan budaya kerajaan. Tujuan utama Parsons sendiri
adalah menginginkan adanya keseimbangan masyarakat melalui perubahan sosial,
namun masyarakat Inggris sendiri tetap stabil meskipun tidak mencapai era The
New Lead Society seperti yang dipaparkan oleh Parsons.
Pada unit analisis AGIL pun
terdapat beberapa fakta yang dapat menyangkalnya, contohnya pada suku Badui
dalam, masyarakat suku ini tidak beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, yang
berarti menurut analisis AGIL, tidak memenuhi fungsi adaptation maka tidak akan
dapat memenuhi kebutuhan dari sistem masyarakat tersebut. Tetapi nyatanya
masyarakat suku Badui dalam tetap dapat eksis tanpa fungsi adaptation tersebut.
Pada intinya Parsons menjelaskan teori fungsionalisme strukturalnya kepada
suatu pemahaman mengenai sistem yang mengacu kepada konsep equilibrium dalam
kehidupan masyarakat. Menurutnya untuk dapat memahami atau mendeskripsikan
suatu sistem maka harus ada suatu fungsi mengenai hal tersebut.
Maka dari itu Parsons
percaya, bahwa ada empat persyaratan mutlak yang harus ada suypaya fungsionalis
masyarakat dapat berjalan, yakni AGIL. pada dasarnya Parsons melihat bahwa AGIL
ini mampu menjadi sebuah fungsi sebagai keteraturan yang harus dimiliki dan
dijalankan setiap masyarakat. AGIL mempunyai arti : Adaptation (Adaptasi), Goal
attainment (Pencapaian tujuan), Integration (Integrasi) dan Latensi
(Pemeliharaan pola). Dengan adanya hal ini, Parsons yakin bahwa tingkat
keseimbangan dalam masyarakat akan tersusun dan terjaga sehingga terhindar dari
adanya kerusakan fungsional antar pribadi di dalamnya, hal ini, menimbulkan
banyak asumsi-asumsi yang kontroversial yang seharusnya Parsons teliti lebih
lanjut, bahwa jika fungsi AGIL ini hanya mampu melenggangkan atau
mempertahankan suatu kekuasaan atas kedudukan individu, maka tidak mungkin
suatu sistem organisme yang ia jelaskan mampu terlaksana, serta ia terlalu
merendahkan konsepsi mengenai perubahan sosial secara revolusioner yang dapat
terjadi secara tiba-tiba. Dalam teorinya ini, Parsons lebih tertuju kepada sistem
sebagai satu kesatuan daripada aktor sebagai peran yang menduduki suatu kendali
sistem, bukannya mempelajari bagaimana aktor tersebut mampu menciptakan dan
memelihara sistem tetapi sebaliknya. Hal yang patut untuk di kaji lebih dalam
mengenai kelemahan teori fungsionalisme-struktural & AGIL bahwa pandangan
pendekatan ini terlalu bersifat umum atau terlalu kuat memegang norma, karena
menganggap bahwa masyarakat akan selalu berada pada situasi harmoni, stabil,
seimbang, dan mapan. Ini terjadi karena analogi dari masyarakat dan tubuh
manusia yang dilakukan oleh Parsons bisa diilustrasikan, bahwa tidak mungkin
terjadi konflik antara tangan kanan dengan tangan kiri, demikian pula tidak
mungkin terjadi ada satu tubuh manusia yang membunuh dirinya sendiri dengan
sengaja. Demikian pula karakter yang terdapat dalam masyarakat.
Teori Parsons tersebut,
terlalu mengedepankan strukturalisasi pencapaian yang menekankan konsep
equilibrium dalam dalam sistem di masyarakat secara fakta, serta ia terlalu
subjektif dengan angan-angannya bahwa setiap individu senantiasa
mensosialiasikan diri terhadap lingkungan dan lingkungan juga menyesuaikan
fungsinya terhadap diri, dan ia lebih menekankan pada aspek perubahan sosial
secara evolusioner di bandingkan revolusioner akibat dasar pemikiran sistem
biologisnya. Adapun kritik lainnya terhadap Talcott Parsons adalah pemikirannya
tentang masyarakat yang terlalu menekankan pada keseimbangan dalam masyarakat,
sehingga ia kurang memperhatikan tentang perubahan dan mobilisasi sosial. Ini
berarti dia melepaskan postivisme Comte dari fungsionalisme. Parsons juga gagal
membuktikan keempirisan dari teorinya sehingga tidak dapat dibuktikan
kebenarannya, walaupun menurut dasar logikanya, ia menggunakan logika deduksi.
H. KESIMPULAN
1. Masyarakat adalah satu kesatuan
atas dasar kesepakatan dari para anggotanya terhadap nilai-nilai tertentu yang
mampu mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang
sebagai suatu system yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
2. Ketika masyarakat berubah, umumnya
masyarakat tersebut akan tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi
permasalahan hidupnya.
3. Sistem sosial selalu cenderung
bergerak ke arah keseimbangan yang bersifat dinamis, gradual (perlahan-lahan
atau bertahap) melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak revolusioner.
4. beberapa persyaratan atau kebutuhan
fungsional yang harus dipenuhi agar sebuah sistem sosial bisa bertahan adalah
harus memenuhi imperatif fungsional sebagai berikut: Adaptasi, Pencapaian
Tujuan, Integrasi, dan Latensi atau yang biasa disingkat AGIL (Adaptation, Goal
Attainment, Integration, Latency).
5. Bahwa tindakan manusia dipandang
sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar yang selalu didorong oleh
kemauan (voluntaristik) untuk mencapai tujuan dengan mengindahkan nilai, ide
dan norma yang disepakati.
Robert K. Merton – Model Struktural
Fungsional
Robert King Merton (biasa disingkat Robert K. Merton) lahir
pada tanggal 4 Juli 1910 di pemukiman kumuh di Philadelphia Selatan. Ia
berkuliah di universitas Temple kemudian melanjutkan di Universitas Harvard.
Model struktual fungsional
Model struktural
fungsional Merton mengkritik apa yang dilihatnya
sebagai tiga postulat dasar
analisis fungsional seperti yang dikembangkan
oleh antropolog Malinowsi dan Radcliffe Brown. Postulat yang pertama adalah
kesatuan fungsional masyarakat. Postulat
ini menyatakan bahwa seluruh kepercayaan dan praktik sosial budaya standar
bersifat fungsional bagi masyarakat secara keseluruhan maupun bagi individu
dalam masyarakat. Pandangan ini mengandung arti bahwa berbagai sistem sosial
pasti menunjukkan tingginya level integrasi. Namun, Merton berpandangan bahwa
meskipun hal ini berlaku bagi masyarakat kecil dan primitif, generalisasi ini
dapat diperluas pada masyarakat yang lebih besar dan lebih kompleks.
Postulat yang kedua
adalah fungsionalisme universal. Jadi, dinyatakan bahwa semua bentuk dan struktur
sosial kultural memiliki fungsi positif. Merton
berpendapat bahwa ini bertentangan dengan apa yang ditemukan didunia nyata.
Jelas bahwa tidak setiap struktur, adat istiadat,
gagasan, keyakinan dan lain sebagainya memiliki fungsi positif. Contoh,
nasionalisme buta bisa jadi sangat disfungsional di dunia yang tengah
mengembangkan persenjataan nuklir.
Postulat yang ketiga
adalah indispensabilitas. Argumennya adalah bahwa seluruh aspek standar
masyarakat tidak hanya memiliki fungsi positif namun juga merepresentasikan
bagian-bagian tak terpisahkan dari keseluruhan. Postulat ini mengarah pada
gagasan bahwa seluruh struktur dan fungsi secara fungsional diperlukan oleh
masyarakat. Tidak ada struktur dan fungsi yang dapat bekerja sebaik yang
sekarang ada di dalam masyarakat. Kritik Merton, mengikuti Parsons adalah bahwa paling tidak kita harus bersedia
mengakui bahwa ada berbagai alternatif struktural dan fungsional di dalam
masyarakat.
Pendapat Merton adalah
bahwa seluruh postulat fungsional tersebut bersandar pada pernyataan nonempiris
yang didasarkan pada sistem teoretis abstrak. Minimal,
menjadi tanggung jawab sosiolog untuk menelaah setiap postulat tersebut menjadi
empiris. Keyakinan Merton adalah bahwa uji empiris, bukan pernyataan teoretis,
adalah sesuatu yang krusial bagi analisis fungsional. Inilah yang mendorongnya
untuk mengembangkan “paradigma” analisis fungsional sebagai panduan ke arah pengintegrasian
teori dan riset.
Dari sudut pandang
tersebut Merton menjelaskan bahwa analisis struktural fungsional memusatkan
perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat dan kebudayaan. Ia menyatakan
bahwa objek apa pun yang dapat dianalisis secara struktural fungsional harus
“merepresentasikan unsur-unsur standar (yaitu, yang terpola dan
berulang)”(Merton, 1949/1968:104). Ia menyebutkan hal tersebut sebagai “peran
sosial, pola-pola institusional, proses sosial, pola-pola kultural, emosi yang
terpola secara kultural, norma sosial, organisasi kelompok, struktur sosial,
alat kontrol sosial dan lain sebagainya”(Merton, 1949/1968: 104).
Pada fungsionalis
struktural awal cenderung lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi
sebuah struktur atau institusi. Namun, menurut Merton, para analisis awal itu
cenderung mencampuradukkan motif-motif subjektif individu dengan fungsi-fungsi
struktur atau institusi. Fokus pada fungsionalis struktural harus diarahkan
pada fungsi-fungsi sosial ketimbang pada motif individu. Fungsi menurut Merton,
didefinisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang disadari dan yang
menciptakan adaptasi atau penyesuaian suatu sistem”(Merton, 1949/1968: 105).
Namun, terdapat bias
ideologi ketika orang hanya memusatkan perhatiannya pada adaptasi atau
penyesuaian, karena selalu ada konsekuensi positif. Namun, perlu diketahui
bahwa suatu fakta sosial dapat mengandung konsekuensi negatif bagi fakta sosial
lain. Untuk memperbaiki kelemahan serius pada fungsionalisme struktur awal ini,
Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi. Ketika struktur atau
institusi dapat memberikan kontribusi pada terpeliharanya bagian lain sistem
sosial, mereka pun dapat mengandung konsekuensi negatif bagi bagian-bagian lain
tersebut. Perbudakan di Amerika Serikat belahan selatan jelas mengandung
konsekuensi positif bagi orang kulit putih di belahan selatan, seperti
tersedianya tenaga kerja murah, dukungan bagi ekonomi kapas dan status sosial.
Ia pun mengandung disfungsi, misalnya, membuat warga selatan terlalu bergantung
pada ekonomi pertanian dan tidak siap menghadapi industrilisasi.
Merton pun mengemukakan
gagasan tentang nonfungsi, yang ia definisikan sebagai konsekuensi yang tidak
relevan bagi sistem tersebut. Termasuk didalamnya adalah bentuk-bentuk sosial
yang “masih bertahan” sejak masa awal sejarah. Meskipun bentuk-bentuk tersebut
mungkin mengandung konsekuensi negatif atau positif di masa lalu, tidak ada
efek signifikan yang mereka berikan pada masyarakat sekarang. Contoh gerakan
pengekangan diri perempuan kristen.
Apakah fungsi positif
lebih banyak daripada disfungsi atau sebaliknya. Untuk membantu menjawab
pertanyaan itu, merton mengembangkan konsep “keseimbangan bersih” (net
balance). Kegunaan konsep Merton berasal dari caranya mengarahkan
perhatian sosiolog ke pertanyaan yang relatif penting.
Merton juga
memperkenalkan konsep fungsi manifes dan fungsi
laten. Secara sederhana, fungsi manifes adalah yang dikehendaki,
sementara fungsi laten adalah yang tidak dikehendaki. Contoh fungsi manifes
perbudakan, meningkatkan produktivitas ekonomi kawasan selatan, namun ia
memiliki fungsi laten yaitu menghasilkan kelas budak yang berfungsi
meningkatkan status sosial warga kulit putih di selatan, kaya atau miskin.
Gagasan ini terkait dengan konsep merton yang lain – konsekuensi yang tidak
terantisipasi.
Merton menjelaskan bahwa
konsekuensi-konsekuensi yang tidak diantisipasi dan fungsi-fungsi laten
tidaklah sama. Fungsi laten adalah suatu tipe konsekuensi yang tidak
terantisipasi, sesuatu yang fungsional bagi sistem yang dirancang. Namun, ada
dua jenis konsekuensi tak terantisipasi lain : “hal-hal disfungsional bagi
sistem yang telah ada dan itu semua mencakup disfungsi laten,” dan “hal-hal
tidak relevan dengan sistem yang mereka pengaruhi secara fungsional atau
disfungional...konsekuensi-konsekuensi nonfungsional” (Merton, 1949/1968: 105).
Sebagai klarisifikasi
lebih lanjut atas teori fungsional, Merton menunjukkan bahwa suatu struktur
bisa jadi disfungsional bagi sistem secara keseluruhan namun mungkin saja terus
ada. Orang dapat mengambil contoh bahwa
diskriminasi terhadap kulit hitam, perempuan dan kelompok minoritas lain adalah
sesuatu yang disfungsional bagi masyarakat Amerika, namun itu semua terus ada
karena fungsional bagi sebagian sistem sosial, misalnya : diskriminasi terhadap
kaum perempuan biasanya bersifat fungsional bagi laki-laki.
Kritik utama
kritik substantif menyatakan bahwa fungsionalisme
struktural tidak terlalu membahas sejarah, karenannya secara inheren ia
bersifat ahistoris. Sebenarnya, fungsionalisme struktural berkembang, paling
tidak sebagian, sebagai reaksi atas pendekatan evolusioner historis yang
dikembangkan beberapa antropolog. Pada tahun-tahun awal, fungsionalisme
melangkah terlalu jauh mengkritik teori evolusi dan mulai memusatkan
perhatiannya pada masyarakat kontemporer ataupun masyarakat abstrak. Namun,
fungsionalisme struktural tidak musti ahistoris (Turner dan Maryanski, 1979).
Para fungsionalis
struktural juga dikritik karena tidak mampu menjelaskan proses perubahan sosial
secara efektif (Abrakamson, 1978, P. Cohen, 1968, Mills 1959, Turner dan
Maryanski).
Percy Cohen (1968)
melihat biang masalah ini didalam teori fungsionalisme struktural itu sendiri,
dimana seluruh elemen masyarakat dipandang mempengaruhi satu sama lain
sekaligus mempengaruhi sistem secara keseluruhan.
Kritik metodologis dan
logis. Salah satu kritik yang sering dikemukakan (Abrahamson, 1978, Mills,
1959) adalah bahwa fungsionalisme struktural pada dasarnya kabur, tidak jelas
dan ambigu. Bagian dari ambiguitas ini dapat ditelusuri ke dalam kenyataan
bahwa para fungsionalis struktural lebih banyak membicarakan sistem sosial yang
abstrak ketimbang masyarakat yang riil.
terima kasih mas sangat membatu
BalasHapusSaudara,, makasih ya...sangat membantu..
BalasHapusSALAM DARI PAPUA-WAMENA.
arigatou gozaimasu..
BalasHapus